Wedus Arab Bukan Wedus Biasa

SUFI PEREMPUAN



A.    Pendahuluan
Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak berlaku lagi ketika muncul   seorang tokoh sufi yang berasal dari kaum wanita  yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.
Dalam sejarah Islam sebenarnya wanita Sufi sudah menampakkan dirinya pada periode sangat awal. Semakin berkembangnya ajaran Sufisme dalam Islam memberi kesempatan pada kaum perempuan untuk mencapai gelar kesufian itu. Tujuan utama pencapaian kaum Sufi adalah untuk dapat menyatu dengan Yang Maha Suci dan meninggalkan keindahan dan daya tarik kegemerlapan dunia untuk membakar api cintanya kepada Tuhan secara terus menerus guna mencapai tujuan paling akhir. Konsep hubungan antara Sufi dengan Tuhannya tersebut tidak memberikan ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gelar kesufian ini bisa dicapai dengan mengikuti jalur Tuhan untuk menyatu dengan-Nya, dan bagi mereka yang dapat memcapainya akan mendapat derajat tinggi dalam kehidupan spiritualnya di dunia.
Jadi gelar kesucian itu diberikan baik pada laki-laki maupun perempuan, dan karena Islam tidak memiliki kasta sebagaimana dalam kependetaan, maka tidak ada lagi halangan bagi perempuan untuk dapat mencapai kedudukan tertinggi dalam agama. Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menerangkan semua tentang Sufi-Sufi perempuan, dari tokohnya sampai kedudukan yang dicapai perempuan Sufi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa saja tokoh-tokoh Sufi perempuan ?
2.      Kedudukan yang dicapai perempuan sufi
3.      Bagaimana perempuan di mata Ibn al-‘Arabi ?


1.      Tokoh-Tokoh Sufi Perempuan
1.      Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah salah seorang  perempuan Sufi yang  mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah adalah perempuan pembebas dari al-Atik suku Qays bin Adi, dimana ia lebih terkenal dengan sebutan al-Adawiyah atau al-Qaysiyah atau juga disebut al-Bashriyah, tempat dimana ia dilahirkan. Sayangnya tidak ada seorang penulis pun, yang sangat dekat dengan masa kehidupannya dan mengungkap kisah tentang awal kehidupannya sebagai bahan, kecuali hanya karya ‘Aththar yaitu Tadzkiratul Auliya’ (Memoir of the Saints). Banyak dari apa yang ia kisahkan tersebut sebagai karya legendaris asli. Meskipun karya itu mungkin, atau dalam beberapa hal sama sekali tidak masuk akal memberikan gambaran-gambaran kenyataan sejarah. Paling tidak memberikan gambaran kepribadian dan keagungan namanya.[1]
Dikisahkan dalam proses kelahirannya, pada malam itu tidak ada minyak dan penerangan didalam rumahnya, tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya. Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu. Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya. Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam.
Tetapi meskipun telah terjadi peristiwa pertanda baik itu, ‘Aththar menceritakan kemalangan yang terjadi dalam keluarga ini, dan pada saat Rabi’ah menjelang dewasa ayah dan ibunya meninggal. Jadilah ia seorang anak yatim piatu. Kelaparan yang melanda Basrah membuat saudaranya terpencar terpisah. Suatu hari, ketika ia sedang berjalan ke luar kota, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk, lalu menarik serta menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham.
Suatu malam, tuannya terbangun dari tidurnya, tampak melalui jendela kamarnya, Rabi’ah sedang sujud beribadat. Ketika Rabi’ah masih asik dalam kelelapan ibadatnya, tampak oleh tuannya sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa sehelai tali pun, dan lentera itu menerangi seluruh rumah. Melihat peristiwa aneh itu, majiakan Rabi’ah merasa ketakutan, ia bangkit lalu kembali ke tempat tidurnya semula dan duduk tercenung hingga fajar menyingsing. Kemudian ia memanggil Rabi’ah untuk bicara secara baik-baik dan kemudian membebaskan budaknya itu pergi.[2]
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan. Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.
Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
Didalam riwayat lain dikisahkan ketika Rabi’ah sedang shalat diatas tikar dari pelepah kurma, terdapat lidi yang mencolok matanya, namun ia tidak merasakan apa-apa hingga selesai shalatnya. Karena begitu mendalam cintanya pada illahi, sehingga tidak ada satupun di dunia ini yang membimbangkan atau mengalihkan perhatiannya pada Tuhan, sehingga duri yang menusuk matanya tidak terasa sedikit pun baginya. Inilah jalan sufi yang ditempuh oleh Rabi’ah dalam mendekatkan diri kepada Allah. [3]
Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah. Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).
2.      Fathimah Nisyapuri
Fatimah dikenal sebagai seorang ahli ma’rifat besar dikalangan sufi wanita pada zamannya. Ia tinggal di Khurasah Abu Yazid Al-Busthami sering mengunjunginya, dan sangat memujinya. Fatimah tinggal di Makkah, namun sering melakukan perjalanan ke Yerusalem dan kembali ke Makkah. Fathimah wafat ketika sedang melaksanakan umrah pada 223 H.
Dikatakan bahwa Dzun Nun Al-Mishri adalah kenalannya. Pada suatu kesempatan, Fhatimah mengiriminya sebuah hadiah. Dzun Nun menolak menerimanya dengan alasan bahwa adalah suatu tanda kekurangan dan ketidakmampuan jika menerima sesuatu dari wanita. Fathimah berkata, “tak sesuatu pun yang lebih baik atau lebih besar dari seorang sufi di dunia ini daripada mengabaikan sebab-sebab yang bersifat temporal (dibalik fenomena-fenomena). 
Ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Fhatimah Nisyapuri di antaranya adalah, pertama, “Barang siapa yang tidak memiliki Tuhan di alam kesadarannya, dia adalah manusia yang keliru dan tertipu, apapun bahasa yang digunakannya dan siapa pun temannya. Tetapi barang siapa yang berkawan dengan Tuhan, dia tidak akan pernah berbicara kecuali dengan ketulusan dan senantiasa setia berpegang teguh pada kehati-hatian yanag penuh kerendahan hati serta pengabdian yang penuh gairah alam perilakunya. Kedua, dimasa kini, seorang yang memiliki kejujuran spiritual sejati dan kesalehan selalu dihantam oleh lautan yang ombaknya kaeras. Dia senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dibebaskan dan diselamatkan dari ombak-ombak tersebut. Orang yang beramal agar bisa menyaksikan Al-Haqq adalah seorang ‘arif’, dan orang yang beramal agar Al-Haqq menyaksikan dirinya adalah seorang ‘abid’. [4]
3.      Nafisah
Nafisah adalah putri ‘Ali Mu-hamad Al-Hasan ibn Zayd ibn Al-hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w.208 H). Ia dimasukkan sebagai seorang keturunan Rasul. Nafisah lahir di Makkah ddan selanjutnya pindah bersama suaminya, Ishaq ibn Ja’far al-Shadiq ke Mesir dan tinggal disana selama tujuh tahun. Beberapa sejarahwan mengatakan bahwa dia ditemani oleh ayahnya, Al-Hasan, yang makamnya ada di Mesir. Namun hal ini diragukan. Dia dikenal sebagai Zahidah, rajin beribadah, dan sangat dikagumi oleh orang Mesir. Diriwayatkan ketika Imam Syafi’i pergi ke Mesi, beliau mendengar Nafisah menuturkan hadits-hadis Nabi.
Nafisah dikenal sebagai orang yang beribadah, berpuasa dan Zahidah.
Ia sangat terkenal denagn pengetahuan tentang kitab Al-Quran beserta tafsirnya dan sering mensyairkannya dengan syair keagamaan. Bahkan Mujtahid besar besar Imam Syfi’i sering mengunjunginya dan mengadakan diskusi penghormatan imam ini kepada perempuan sufi dan juga kesuciannya, dapat dilihat juga dari kenyataan bahwa ia sering mengadakan shalat-shalat khusus dengan Nafisah dimalam-malam bula selalu ramadhan. Ia juga dikenal di seluruh Mesir dan kemana saja ia pergi reputasinya selalu mengikutinya dan ia banyak menerima penghormatan dari masyarakat  baik individu maupun kelompok yang ada di dalam masyarakat itu, dimana ia terkenal dengan ibadat-ibadat, puasanya di siang hari dan shlat-shalat malamnya. Nafisah wafat di Mesir pada bulan Ramadhan di tahun 208 H.
Diriwayatkan bahwa menjelang ajalnya Nafisah sedang berpuasa dan orang-orang yang menyarankan agar (ia membatalkan puasanya). Dia berkata, “Alangkah anehnya saran kalian ini! Selama tiga puluh tahun ini aku telah bercita-cita hendak menghadap Tuhanku dalam keadaan berpuasa, apakah sekarang aku harus membatalkan puasaku? Tidak, tak mungkin!” lalu dia membaca surat Al-An’am, ketika sampai diayat yang ke 127 dia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. 
Nafisah berwasiat, supaya orang yang menggali kuburan untuknya dan membacakan di atasnya Al-Quran sebanyak enam ribu kali tamat. Ketika dia meninggal dunia, seluruh Mesir di diliputi suasana berkabung yang sangat mendalam. Lilin-lilin dinyalakan orang-orang dari desa dan kota berkumpul untuk memperingatinya. Suara ratapan dan tangisan terdengar dari setiap rumah di Mesir. Doa-doa dipanjatkan untuknya, dan ucapan-ucapan duka diungkapkan baginya. Sejumlah besar manusia berkumpul untuk melaksanakan upacara penguburannya yang belum pernah terjadi dan dilihat orang seperti itu sebelumnya di Mesir. Nafisah dikuburkan di rumahnya di Darb Samah, dekat Kairo.    [5]
4.      Sya’wanah
Sya’wanah adalah seorang perempuan sufi yang berasal dari persia dan tinggal di Ubullah di tepi sungai Tigris. Ia sudah terbiasa berkhutbah dan membacakan ayat al-Quran dan syair dengan alunan suara yang indah. Para zahhid muttaqin dan orang-orang sufi biasa menghadiri pengajian-pengajiannya.
Salah satu seorang murid sya’wanah yang setia menyatakan bahwa sejak dia bertemu dengan gurunya itu, maka berkat berkah wali perempuan yang kharismatik itu, dia tak pernah lagi cenderung mencari kenikmatan dunia dan tak pernah lagi dia meremehkan sesama Muslim.
Javad mengemukakan, bahwa Mu’azh ibn Fadhl mengatakan “sya’wanah banyak menangis hingga kami mengira dia akanbuta karenanya, lalu sya’wanah menjawab” Demi Allah, lebih baik bagiku menjadi buta di dunia ini karena air mataku daripada buta di Akhirat karena api Neraka”. Malik ibn Zayqham menuturkan bahwa seorang laki-laki dari Ubullah datang dan menghadap Abu Katsi dan berbicara tentang betapa banyaknya sya’wanah menangis. Lalu aAbu Katsir mulai menangis dan berkata “ Tangisnya itu dikarenakan kenyataan bahwa seluruh hatinya terbakar. “orang-orang mengatakan bahwa banyaknya air mati orang yang menangis bergantung pada besarnya api yang membakar hatinya. Sya’wanah menjadi wanita yang banyak menangis kepada Allah Swt untuk mengharap ampunnya.
Sya’wanah selalu menangis dan merangsang orang-orang lain untuk menangis juga, dia akan meratap dan menyanyikan syair. Mungkin kita tidak bisa menjadi seperti Sya'wanah yang selalu mengalir air matanya setiap kali nama Allah SWT disebutkan. Tapi dengan menghadirkan hati kita untuk memohon ampun atas semua kesalahan kita dengan sendirinya air mata penyesalan pun akan mengalir. [6]
Kedudukan yang dicapai Sya’wanah dai adalah sufi yang mempunyai tempat yang tinggi diantara para sufi, sebab doa-doa dan shalat-shalat yang dilakukannya dengan penuh keikhlasan dimana ia mengikuti jalur cinta, sebagaimana Rabi’ah Al-Adawiyah dan bahwa matanya tidak saja buta disebabkan deraian airmata penyeasalan tetapi juga disilaukan oleh cemerlangnya rahmat kekasihnya. Apa yang ia kejar dalam hidupnya adalah penyaksian kepada Allah di dalam keindahannya. Shalat-shalatnya menunjukkan juga bahwa didalam hidupnya yang selalu ia cari adalah menyatu dengan sahabatnya, merasakan kehadirannya suatu  hubungan dimana para sufi aliran terdahulu sangat sulit untuk mencapainya. Dan tak dapat disangka lagi, bahwa sebenarnya ia telah mendapat rahmat sufistik dan sebenarnya berjalan seiring dengan Allah, yang menjadikannya sebagai seorang guru yang berpengetahuan dan menjadi acuan spiritual bagi para sufi lain dizamannya. 
Perempuan-perempuan tersebut memiliki kesucian hidup dan hubungan intim dengan yang suci, sebagaimana mereka pelajari dengan penuh antusias dari ajaran suci Islam, ditandai dengan banyak munculnya ulama-ulama dimasa mereka, dan kontribusi mereka terhadap[7] perkembangan serta merupakan kekuatan tersendiri bagi agama Islam.

2.      Kedudukan Yang Dicapai Perempuan Sufi
Kedudukan tinggi telah dicapai oleh perempuan Sufi di antara ummat Islam, dan kita dapati banyak penulis tentang agama yang mengangkat perempuan perempuan Sufi sebagai contoh tidak hanya kepada perempuan lain, tetapi juga terhadap laki-laki lain. Rabi’ah al-Adawiyah, tak perlu diragukan lagi, adalah perempuan terbesar di dalam kehidupan Tasawuf Islam dan kontribusinya yang terbesar bagi perempuan terhadap perkembangan Sufisme. Tetapi ada juga perempuan lain di zamannya dan sesudahnya, yang di anggap sebagai orang Sufi dan juga tentang sumbangan yang telah diberikannya. Perempuan-perempuan itu adalah antara lain Aminah, ibunda dari Rasulullah, dan Fatimah, putrinya yang selalu dipuja-puja oleh kaum Muslim karena hubungan dekatnya dengan Muhammad Rasulullah saw.
Terlepas dari itu, seorang perempuan Sufi sebelumnya yang dicatat adalah Ummu Haram, dimana makamnya dapat ditemukan di Larnaka, Siprus. Perempuan Sufi ini sangat terkenal dan sering disebut-sebut oleh para penulis Arab awal. Ia adalah putri Milhan, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad saw. Ia memiliki nama yang beragam yaitu Rumayshah, Raulah dan Sahlah, sementara itu ada yang menyebutkan bahwa namanya tak dikenal. Sebuah kisah yang lengkap mengenai dirinya terdapat dalam manuskrip Turki yang tertanggal sekitar tahun 1800 M oleh Syekh Ibrahim bin Mushthafa.
Perempuan-perempuan tersebut memiliki kesucian hidup dan hubungan intim dengan Yang Suci, sebagaimana mereka pelajari dengan penuh antusias dari ajaran suci Islam, ditandai dengan munculnya ulama-ulama di masa mereka, dan kontribusi mereka terhadap perkembangan serta merupakan kekuatan tersendiri bagi agama Islam.

C.    Perempuan Di Mata Ibn Al-‘Arabi
Perempuan di mata Ibn al-‘Arabi dapat secara sekaligus dikatakan setara, lebih rendah dan lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan setara dengan laki-laki dalam aspek-aspek tertentu, seperti kemanusiaan, tingkatan qutub dan kenabian. Pada waktu yang sama, perempuan dalam pandangannya lebih rendah daripada laki-laki karena alasan tertentu, seperti fakta bahwa perempuan berasal dari laki-laki (Hawa berasal dari tulang rusuk Adam) dan fakta bahwa perempuan tidak dapat mencapai tingkatan kerasulan dan pengutusan yang hanya dapat dicapai laki-laki. Akan tetapi, perempuan mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki, seperti kekuatan dahsyat dalam diri perempuan dan penyaksian akan Tuhan yang paling sempurna pada dirinya.[8] Dan berikut adalah pandangan Ibn Al-‘Arabi tentang perempuan.
1.      Mengagumi Perempuan
Pengalaman hidup Ibn Al-‘Arabi dalam perjumpaan dan persahabatannya dengan perempuan-perempuan yang ia kagumi telah memberikan pengaruh yang sangat besar kepada pandangannya tentang perempuan. Di antara guru-guru spiritual Ibn Al-‘Arabi pada masa mudanya terdapat tiga orang perempuan; Yasmin dari Marchena, Fathimah dari Kordova, dan Zaynab al-Qal’iyyah. Yasmin yang telah berusia delapan puluh tahun itu dinilai oleh Ibn al-‘Arabi sebagai seorang yang memiliki hati yang kokoh dan tulus, kekuatan spiritual yang mulia, dan kemampuan membedakan yang baik.
Fatimah yang berusia sembilan puluhan tahun saat berjumpa dengan Ibn al-‘Arabi, adalah seorang perempuan yang sangat dikagumi oleh Ibn al-‘Arabi. Kendati sudah sangat tua dan tidak banyak makan, Ibn al-‘Arabi hampir-hampir malu melihat wajahnya saat duduk bersamanya. Wajahnya di mata Ibn al-‘Arabi menyenangkan dan lembut. Bagi Ibn al-‘Arabi, meskipun sudah berusia tua tetapi masih tetap cantik dan segar bagaikan seorang gadis karena sepenuhnya telah diubah oleh cinta ilahi.
Zaynab al-Qal’iyyah termasuk di antara yang menekuni kitab Allah, seorang zahid paling terkemuka di zamannya. Sekalipun ia sangat cantik dan jelita serta amat kaya, ia meninggalkan kemewahan duniawi dan tinggal di wilayah Mekkah sebagai seorang wanita yang dimuliakan Allah. Ibn al-‘Arabi mengaku bahwa ia belum pernah melihat siapa pun yang lebih ketat dalam memperhatikan waktu-waktu salat.
2.      Laki-Laki Lebih Tinggi daripada Perempuan
Mengapa Allah mengatakan, “kaum laki-laki satu tingkat lebih tinggi daripada kaum perempuan” (Qs 2: 228) ? apa akar terdalam yang menentukan tingkatan itu ? ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Ibn al-‘Arabi menemukan akarnya dalam hubungan yang-yin antara Tuhan dan kosmos. Baginya, hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan antara suami istri, secara ontologis, berakar pada-dan, tentu juga, ditentukan oleh-bentuk hubungan yang-yin antara Tuhan dan kosmos.
Keunggulan kaum laki-laki satu tingkat di atas kaum perempuan dijelaskan pula oleh Ibn al-‘Arabi dengan pembenaran kosmologi, atau lebih tepatnya perbandingan kosmologis. Keunggulan kaum laki-laki di atas kaum perempuan telah ditetapkan oleh Tuhan sebagaimana keunggulan langit dan bumi di atas manusia, atau sebagaimana keunggulan makrokosmos di atas mikrokosmos.
3.      Kesetaraan antara Laki-laki dan Perempuan
Kita tidak bisa memberikan kesimpulan tunggal bahwa dalam pandangan Ibn al-‘Arabi kaum laki-laki lebih unggul dari kaum perempuan dengan alasan-alasan yang telah dikemukakannya. Tetapi kita dipaksa untuk memperhatikan bahwa pada bagian-bagian lain tulisannya, Ibn al-‘Arabi mengatakan bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama dari beberapa sudut pandang atau aspek tertentu. Misalnya, ia memandang bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sama dalam hal kemanusiaan (insaniyyah).
Kemanusiaan adalah realitas yang mencakup kaum laki-laki dan kaum perempuan, sehingga kaum laki-laki tidak mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada kaum perempuan dari segi kemanusiaan. Demikian pula manusia, sama-sama kualitas kealaman (alamiyah) dengan makrokosmos. Dengan demikian, kosmos tidak memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada manusia dari segi ini... Namun, bab ini menuntut sifat yang di dalamnya kaum perempuan dan kaum laki-laki bersatu. Itu terdapat pada apa yang kami sebut kenyataan bahwa mereka berada pada tempat menerima aktivitas. Semua ini dilihat dari segi realitas-realitas.

Persamaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, menurut Ibn al-‘Arabi, terdapat pada kenyataan bahwa keduanya sama-sama dapat mencapai tingkat kesempurnaan, seperti kenabiaan, meskipun tingkat kesempurnaan yang dicapai kaum laki-laki lebih tinggi, seperti pengutusan dan pengiriman. Persamaan antara keduanya terdapat pula pada adanya kewajiban syariat bagi keduanya. Meskipun keputusan-keputusan tertentu berbeda untuk masing-masing dari keduanya.
4.      Kekuatan Dahsyat dalam Diri Perempuan
Di atas telah dikatan bahwa kaum perempuan mampu mencapai puncak spiritual yang dapat dicapai oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan menurut Ibn al-‘Arabi dapat menjadi menjadi Qutub. Bahkan kaum perempuan memiliki pencapaian-pencapaian tertentu yang tidak dapat diraih oleh kaum laki-laki, suatu tingkatan yang untuknya dibuatkan kiasan-kiasan dalam kata “perempuan” (mar’ah) yang untuk mereka. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi Ibn al-‘Arabi memberikan pendapat bahwa sebenarnya kaum perempuan memiliki kekuatan tertentu yang tidak dimiliki oleh siapa pun dan apa pun itu di bumi ini.
Ibn al-‘Arabi tampak berupaya untuk membuktikan bahwa kaum perempuan mempunyai suatu kekuatan yang tiada tandingannya di seluruh alam ini. Ia mengukuhkan pandangan ini dengan merujuk kepada implikasi-implikasi suatu ayat Al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan dua orang istri Nabi, Aisyah dan Hafshah. Ia menegaskan pendapat itu ketika membahas nama Ilahi Yang Mahakuat (al-Qawi) dan berbagai realitas dalam kosmos yang menampakkannya. Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki tidak berdaya tanpa perempuan. Karena perempuan adalah suatu mikrokosmos, ia memusatkan pada dirinya sendiri kekuatan setiap realitas reseptif dalam eksistensi.

5.      Perempuan Diciptakan sebagai yang Dicintai
Tuhan membuat kaum perempuan dicintai Nabi dan memberinya (Nabi) kemampuan untuk menikah. Kaum perempuan dibuat sebagai yang dicintai karena mereka adalah lokus yang menerima aktivitas untuk mewujudkan bentuk yang paling sempurna, yaitu bentuk manusia, yang tidak ada suatu bentuk apa pun yang lebih sempurna daripadanya. Bagi Ibn al-‘Arabi, cinta kepada kaum perempuan tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada Tuhan.[9] Sufi yang digelari Guru Terbesar ini mengatakan:
Orang yang mencintai kaum perempuan, sebagaimana Nabi mencintai mereka, sudah barang tentu mencintai Tuhan, yang mencakup semua penerimaan aktivitas (al-jami’ al-infi’al), karena Dia telah diberi pengetahuan dengan objek pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan tentang Dia bahwa dia adalah Yang Mengetahui. Karena itu, Dia adalah yang pertama menerima aktivitas dari objek pengetahuan.
Bagi Ibn al-‘Arabi, cinta kepada kaum perempuan adalah wajib (faridhah) dan cara untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw berkata, “Tiga dari duniamu ini dibuat bersifat dicintai bagiku: kaum perempuan, parfum, dan kesejukan mataku ketika shalat.”
6.      Menyaksikan Tuhan pada Kaum Perempuan
Suatu keistimewaan kaum perempuan, menurut Ibn al-‘Arabi adalah bahwa penyaksian Tuhan pada diri kaum perempuan adalah bentuk penyaksian paling sempurna yang pernah diberikan kepada manusia. Menyaksikan Tuhan dari segi Dzat-Nya adalah mustahil, tetapi menyaksikan Tuhan dari segi penampakan diri-Nya (Tajalli) adalah mungkin. Tuhan menampakkan diri pada segala sesuatu yang diciptakan. Tuhan dapat dilihat atau disaksikan pada lokus penampakan diri-Nya. Perempuan adalah lokus panampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Oleh karena itu, penyaksiaan Tuhan pada diri kaum perempuan adalah jenis panyaksiaan yang paling sempurna.
7.      Perempuan Boleh Menjadi Imam
Salah satu pendapat Ibn al-‘Arabi yang menarik dan didukung kaum feminis adalah bahwa perempuan boleh menjadi imam dalam shalat secara mutlak atas kaum laki-laki dan perempuan. Alasannya adalah menurut Ibn al’Arabi, Rasulullah saw. Menyaksikan sebagaimana kaum perempuan mencapai kesempurnaan sebagaimana meyaksikan sebagian kaum laki-laki mencapai kesempurnaan, meskipun kaum laki-laki lebih banyak.[10] Yang dimaksud kesempurnaan disini adalah kenabiaan, sedangkan kenabiaan dapat disamakan dengan keimaman, yakni jabatan imam dalam shalat. Karena itu, keimaman perempuan sah dan hukum asal adalah pembolehan keimaman perempuan. Menurut Ibn al-‘Arabi, tidak ada dalil dan pendapat yang melarang perempuan menjadi imam.




















D.    Kesimpulan
Sangat banyak tokoh Sufi perempuan, diantaranya adalah Rabi’ah Al-Adawiyah, Fathimah Nisyapuri, Nafisah, Sya’wanah dan masih banyak lagi. Kedudukan perempuan Sufi dalam Islam sangatlah tinggi, dan tidak kalah dengan Sufi laki-laki. Banyak kontribusi Sufi perempuan dalam Islam. Perempuan di mata Ibn al-‘Arabi dapat secara sekaligus dikatakan setara, lebih rendah dan lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan setara dengan laki-laki dalam aspek-aspek tertentu, seperti kemanusiaan, tingkatan qutub dan kenabian. Pada waktu yang sama, perempuan dalam pandangannya lebih rendah daripada laki-laki karena alasan tertentu, seperti fakta bahwa perempuan berasal dari laki-laki (Hawa berasal dari tulang rusuk Adam) dan fakta bahwa perempuan tidak dapat mencapai tingkatan kerasulan dan pengutusan yang hanya dapat dicapai laki-laki. Akan tetapi, perempuan mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki, seperti kekuatan dahsyat dalam diri perempuan dan penyaksian akan Tuhan yang paling sempurna pada dirinya. Pandangan Ibn al-‘Arabi tentang perempuan adalah padangan sufi yang menekankan aspek-aspek esoterik hubungan gender antara laki-laki dan perempuan.









Daftar Pustaka
Smith, Margaret. 1997. Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan. Surabaya: Risalah Gusti.
Umar Ismail, Asep. 2005. Tasawuf. Jakarta: Pusat Studi Wanita.
Hamka. 1983. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pt. Citra Serumbun Padi.
Azhari Noer, Kautsar. 2003. Tasawuf Perenial. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.


[1] Margaret Smith, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997) hlm. 7
[2] Margaret Smith, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, hlm. 9
[3] Asep Umar Ismail, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005) hlm. 131-137

[4] Ibid, hlm. 137-143
[5] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pt. Citra Serumbun Padi, 1983) hlm. 73-75
[6] Ibid hlm. 164-168
[7] Margaret Smith, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997) hlm. 157-170
[8] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 65.
[9] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, hlm. 87.
[10] Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, hlm. 90.

0 komentar:

Posting Komentar