Wedus Arab Bukan Wedus Biasa

REINTERPRESTASI MA’RIFAT BAGI ORANG AWAM DAN APLIKASINYA



A.    PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluq yang diberi akal sempurna, Dengan sempurnanya akal seharusnya manusia bisa membedakan yang mana yang baik dan buruk untuk dirinya. Untuk dapat membedakan itu manusia harus mengenali siapa dirinya, dan sebelum mengenal dirinya manusia harus lebih dulu mengenal penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan mengenal Allah maka kita akan mendapat banyak kebaikan diantaranya adalah peningkatan iman dan taqwa. Disamping itu dengan mengenal Allah akan tumbuh ketenangan, keberkahan dan kehidupan yang baik, dan di akhirat akan dibalas dengan surga Allah.
Akan tetapi masih banyak diantara kita hanya mengenal Allah secara lahiriyah saja. Mengenal Allah atau biasa juga disebut Ma’rifatullah, wajib hukumnya bagi setiaap mukmin, sebab bagaimana biasa dia mengaku bahwa dirinya adalah orang mukmin jika mengenal Tuhannya saja tidak. Lalu untuk apa dia beribadah jika tidak tau siapa yang dia imani.
Makalah ini akan membahas tentang Reinterprestasi Ma’rifatullah dan aplikasinya dalam kehidupan kita.



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Reinterprestasi Ma’rifat
2.      Jenis-jenis Ma’rifatullah
3.      Pengaplikasian jenis Ma’rifatullah
4.      Hukum mempelajari Ma’rifatullah














C.     PEMBAHASAN
1.      Reinterpretasi Ma’rifatullah.

Dari segi bahasa Ma’rifatullah berasal dari bahasa Arab “arafa, ya’rifu, ‘irfan, ma’rifah’ yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Tapi dalam pengucapan lidah orang jawa disebut Ma’rifat[1]
Menurut para Muhaqqiqin (orang-orang yang mendalami ilmu hakikat, Ma’rifatullah diartikan sebagai “ Ketetapan hati mempercayai dzat yang wajib wujud (Allah) yang memiliki segala kesempurnaan” [2]

Para ulama mengartikan ma’rifat ini sebagai sebuah ilmu. Menurut mereka semua ilmu adalah Ma’rifat dan semua Ma’rifat adalah ilmu. Dan setiap orang yang mempunyai ilmu disebut ahli Ma’rifat. Tapi dikalangan para Sufi Ma’rifat ini sebutan untuk orang-orang yang benar-benar mengenal sifat-sifat dan asma-asma Allah, selalu berperilaku baik di jalan Allah, selalu mensucikan hati dari sifat-sifat dengki, iri, takabur dan lainnya, meninggalkan kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan menikmati kedekatanya dengan Allah, senantiasa merasakan kehadiran Allah didalam hati, ketika dia tidak lagi merasakan kegembiraan kecuali karena Allah, ketika rindunya hanya untuk Allah, fikiran, hati, mulut dan perilaku hanya bertujuan untuk Allah dan ketika dia menyadari dia akan kembali kepada Allah semata saat itu orang tersebut disebut Ma’rifatullah.[3]

Abu yazid berkata “Untuk mengetahui Allah, maka cukup bagimu untuk mengetahui bahwa Dia melihatmu. Dan untuk mengetahui ilmu, maka cukup bagimu untuk mengetahui bahwa Dia tidak membutuhkan amalanmu.

Menurut Junaidi makrifat adalah munculnya kebenaran pada hati, seraya terus berhubungan dengan kelembutan-kelembutan cahaya.

Menurut Dzunnun Ma’rifatullah adalah dengan menegaskan kepada hati bahwa Allah selalu mengawasimu, selalu berserah kepada Allah, selalu takut melanggar hukum-hukum Allah.

Menurut imam ghazali oang yang Ma’rifat itu harus mengenal 4 perkara.
1)      Mengenal dirinya yaitu dengan menyadari bahwa diri ini lemah dan hina sehingga kita butuh pertolongan Allah.
2)      Mengenal Tuhan yaitu dengan meyakini bahwa hanya Allah tempat kita kembali, memohon, berlindung dan lainnya.
3)      Mengenal dunia yaitu dengan menyadari bahwa dunia ini hanya tempat kita singgah, dan apa yang kita miliki di dunia ini tidak akan abadi, sehingga kita tidak terlena dengan nikmat dunia.
4)      Dan mengenal akhirat yaitu dengan menyadari bahwa akhirat itu kekal, disana kita akan hidup selamanya.
Jika kita sudah mengel diri dan Tuhan, dunia dan akhirat maka akan timbul Ma’rifatullah.[4]
Ma’rifatullah dapat dikatakan adalah tujuan utama para sufi. Saat mereka sudah sampai pada Ma’rifatullah dan Allah telah mebukakan pintu baginya maka dia akan mendapat ketenagan dalam Ma’rifat itu, sebab dia akan merasakan nikmat rohani yang tidak pernah ia rasaksan sebelumnya. Sehingga dia akan menjadi hamba yang selalu haus untuk bertaqwa, memperbanyak amalan dan selelu mendekatkan diri kepada Allah.
Orang yang sudah pada titik Ma’rifatnya maka dipastikan dia sangat dekat dengan Allah dan akan mampu memandang Allah dengan Ma’rifatnya.
2.      Jenis-jenis Ma’rifatullah.

Ada 4 yang dapat dicapai manusia dan 1 yang tidak dapat dicapai.

a.       Ma’rifatul asma (mengenal asma-asma Allah)
Seperti sabda nabi:
Allah memiliki sembilan puluh sembilan asma yang mengatakan bahwa Allah Maha sempurna, bila berdoa hendaklah disertai menyebut asma-Nya dan Allah sangat senang bila disebut asma-Nya, barang siapa hafal (Asma-ul Husna) niscaya masuk surga.



Artinya: “Sesunguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menjaganya maka dia masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b.      Ma’rifatus sifat (mengenal sifat-sifat Allah)
Dengan mendalami makna Asma-ul Husna orang menjadi mengenal sifat-sifat Allah, mengenal sifat-sifat kesempurnaan Allah. Insan hendaknya berakhlak dengan sifat keutamaan-Nya tentu saja dalam batas kemampuan kemanusiaanya

c.       Ma’rifatul af’al (mengenal karya-karya Allah)
Karya Allah terbentang luas dijagad raya (langit, bumi, matahari, laut dan masih banyak). Organ dalam tubuh manusia (jantung, ginjal, mata, kaki dan lainnya). Bukti kebesaran Allah tiada taranya.

d.      Ma’rifatul iradah (mengenal kehendak Allah)
Mengetahui apa maksud Allah menciptakan makhluqnya, untuk apa Allah menciptakan alam dunia, apa yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia jadi kita harus mengenalinya.

e.       Ma’rifatudz dzat (mengenal dzat Allah)
Ini bagian yang tidak dapat dicapai oleh manusia karena ini adalah hak Allah. Pikiran manusia tidak mampu mencapainya. Dzat Allah Maha Ghaib, Maha Tersembunyi, Maha Tinggi, Maha suci, dan Maha Abadi.[5]

Menurut Dzun nun Ma’rifat itu dibagi menjadi 3
1)      Ma’rifat orang awam yaitu mengenal Allah hanya dari 2 kalimat syahadat
2)      Ma’rifat para ahli ilmu kalam dan filsuf yaitu mengenal keesaan Allah dengan sarana logika dan penalaran.
3)      Ma’rifat para ulama’ dan orang-orang yang dekat dengan Allah (Muqarrabin) yaitu mengenal keesaan Allah dengan sanubari atau qalbu
Menurut Harun Nasution ma’rifat yang pertama dan kedua belum lah yang sesungguhnya (Ma’rifat para sufi) tapi hanya sebetas ilmu. Yang hakiki adalah Ma’rifat yang ketiga . ma’rifat hanya dapat diperoleh oleh kaum sufi. Tuhan memasukkan cahaya pada kalbu pada tiap-tiap sufi.

Karena itu saat Dzun Nun ditanya bagaimana ia memperoleh Ma’rifat ia menjawab “Aku mengenal Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya jika tidak karena Tuhan maka aku tidak akan mengenalnya”
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa Ma’rifat itu bukan karena
Hasil usaha manusia, tapi bergantung pada kehendak dan rahmat Allah. Ma’rifat hanya diberikan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Ali Abd Al-Adzim menyatakan bahwa kaum sufi sepakat bahwa Ma’rifat yang hakiki hanya bisa didapat dari ilham bukan melalui akal.[6]

3.      Pengaplikasian macam-macam Ma’rifatullah

a)      Dengan menghafal Asmaul Husna
1)      Di dalam dada selalu menggema asma Allah
2)      Bibir selalu menggumamkan asma Allah.
3)      Dimanapun selalu mengingat Allah.
4)      Mulai subur rasa cinta kepada Allah.
   
b)      Mengerti makna dari setiap Asmaul Husna.
1)      Ketika menyebut nama Allah lebih meresap dalam hati.
2)      Mengerti kegunaan nama Allah.
3)      Ketika berdo’a menyertakan nama Allah dengan tepat.
4)      Menyadari kebesaran Allah darinama-namanya.

c)      Mengenal sifat-sifat Allah.
1)      Memahami sifat-sifat Allah secara mendalam.
2)      Mengenal segala keagungan, keperkasaan dan keabadian Allah dengan begitu kita menyadari bahwa kita ini miskin, lemah dan kerdil.
3)      Berniat menteladani nama-nama Allah dengan keterbatasan manusia.
d)     Mengenal karya-karya Allah.
1)      Mengamati bahwa semua yang ada di alam semesta adalah hasil karya Allah.
2)      Menyadari bahwa rahmat yang diberikan kepada makhluq khususnya manusia.

e)      Mengenal kehendak Allah.
1)      Menyadari untuk apa manusia diciptakan di dunia.
2)      Menyadari apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan.
3)      Mengenali isyarat Allah dibalik suatu peristiwa.
4)      Mensyukuri nikmat Allah, bersabar dengan bencana yang diberikan oleh Allah. Dan rela terhadap takdir Allah.

f)       Ma’rifatullah secara kaffah tapi tidak mungkin mengenal Dzatnya, karna tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui dzat Allah.
1)      Beriman kepada Allah dengan dasar tauhid (hanya mengesakan Allah)seperti dalam ayat Al-qur’an
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa".
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya".
2)      Melakukan syariat Islam dengan penuh kesadaran.
3)      Berakhlaq mulai dijalan yang benar.
4)      Hati menjadi cinta, ridho dan rindu kepada Allah ingin. selalu berindah dan selalu mengingatnya.
5)      Selalu mendekatkan diri kepada Allah.
6)      Berupaya selalu hidup bersama Allah.
7)      Hidup bersih lahir dan batin.
8)      Selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
9)      Dicintai dan diridhoi Allah.[7]

Mengapa harus Asmaul Husna karena dengan mengerti dan memahami makna nama-nama Allah, itu bisa dijadikan pintu masuk menuju Ma’rifatullah.

4.      Hukum mempelajari Ma’rifatullah

Ma’rifatullah wajib bagi setiap mukmin karena mengenal Allah adalah rukun iman yang pertama, yang paling tinggi kedudukannya.

Seperti dalam Hadist Qudsi berikut:

“Kuntu khozinatan khofiyatan, ahbabtu an u’rifa, kholaqtul kholqa, fa ta’araftu ilaihim fa’arofuni.”

Artinya: Aku (Allah) pembendaharaan yang tersembunyi, aku mengehndaki untuk dikenal, aku menciptakan makhluq, maka aku memperkenalkan diriku kepada mereka, maka mereka mengenalku.”

Maksud Hadist tersebut adalah Allah menghendaki untuk dikenal. Jika insan tidak berupaya mengenal Allah, itu berarti bertentangan dengan kehendak Allah.[8]

Ma’rifatullah adalah kewajiban pertama yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya dengan firman Allah.


Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

Menurut Ibnu Abbas kata “ Liya’budu “ artinya supaya mereka berma’rifat kepada-Ku.[9]

D.    KESIMPULAN

Ma’rifatullah dapat diartikan mengenal Allah. Menurut Dzun Nun Ma’rifatullah dibagi menjadi 3 macam. Pertama Ma’rifat orang awam yaitu mengenal Allah dengan 2 kalimat syahadat. Kedua Ma’rifat para ahli kalam dan filsuf yaitu mengenal Allah dengan logika. Ketiga Ma’rifat para ulama dan Muqarrabin yaitu mengenal Allah dengan sanubari. Ma’rifat yang ketiga ini baru disebut Ma’rifat hakiki dan sudah disetujui oleh para ahli sufi.

Menurut para sufi Ma’rifatullah tidak bisa dicapai menggunakan akal dan hanya bisa dicapai melalui ilham.

            Hukum mempelajari Ma’rifatullah adalah wajib karena rukun iman yang pertama adalah percaya kepada Allah.



DaftarPustaka
Haq. Zainur, Ajaran Ma’rifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013)
Musnamar. Tohari, Jalan lurus menuju ma’rifatullah, (Yogyakarta, MitraPustaka, 2004)

Qusyairi. Huwaiz, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung: Pustaka, 1994)
Imam al-Ghazali, Minhajul abidin, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2014)
Sulami. Abdirrahman, Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2007)


[1] Zainur Haq, Ajaran Ma’rifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), hlm. 20
[2] TohariMusnamar, Jalan lurus menuju ma’rifatullah, (Yogyakarta, MitraPustaka, 2004), hlm. 2 
[3] Abd al-Karim ibn Huwaiz al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, (Bandung: Pustaka, 1994) hlm. 312
[4] Imam al-Ghazali, Minhaju labidin, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2014), hlm. 23-24
[5] TohariMusnamar, Jalan lurus menuju ma’rifatullah, (Yogyakarta, MitraPustaka, 2004), hlm. 51
[6] Zainur Haq, Ajaran Ma’rifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), hlm. 26
[7]TohariMusnamar, Jalanlurusmenujuma’rifatullah, (Yogyakarta, MitraPustaka, 2004), hlm 69
[8] TohariMusnamar, Jalan lurus menuju ma’rifatullah, (Yogyakarta, MitraPustaka, 2004), hlm. 6
[9] Abdirrahman al-Sulami, Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 36

0 komentar:

Posting Komentar