Wedus Arab Bukan Wedus Biasa

PENDEKATAN FEMINIS DALAM STUDI ISLAM



BAB I


                               I.            Pendahuluan
Masalah feminisme1 atau gender sering kali diperdebatkan dan diperbincangkan, tidak saja dikalangan akademisi tetapi juga dikalangan masyarakat umum. Perbincangan mereka lebih difokuskan pada persoalan – persoalan seperti, hak – hak perempuan atau laki – laki, kepemimpinan perempuan, perdagangan perempuan, KDRT dan masih banyak lagi.
Maraknya perbincangan masalah feminisme atau gender ini lebih disebabkan oleh adanya ketimpangan yang terjadi di masyarakat tentang perbedaan peran laki – laki atas perempuan, dimana laki – laki memiliki superioritas atas perempuan dalam segala aspek kehidupan. Bahkan peran dalam dunia public lebih banyak dipegang laki – laki daripada perempuan. Sementara perempuan lebih banyak berperan dalam level domestic, baik sebagai istri maupun sebagai ibi rumah tangga.
Sementara yang menyangkut fungsi, peran, hak dan kewajiban masuk dalam wilayah gender. Misalnya, perempuan itu memiliki sifat lemah lembut, emosional, keibuan dan cantik. Sedang laki – laki memiliki sifat kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri – ciri tersebut, baik yang melekat pada perempuan atau laki – laki adalah permanen. Artinya, sifat – sifat itu dapat beralih dan dipertukarkan dari satu kelainnya. Dengan demikian gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara social maupun kultural2 dan yang menyangkut aspek – aspek non biologis lainnya.3
f
1Kamla Bshin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, terj. S. Herlina ( Jakarta : Gramedia, 1995 ), hlm.1
2Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial ( Yogyakarta  : Pustaka Pelajar, 2006 ), cet.X, hlm.8-9
3Dr. nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Gender: Persepektif al-Qur’an (Jakarta : Param,adina, 1999), hlm. 35
                            II.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan feminis?
2.      Bagaimana sejarah feminisme itu sendiri?
3.      Siapa saja tokoh – tokoh feminisme?
4.      Apa saja dasar – dasar pemikiran feminis?
                         III.            Pembahasan
1.      Pengertian feminisme
Feminisme berasal dari bahasa latin “femina” , yang artinya memiliki sifat keperempuanan. Feminisme  muncul pada tahun 1960-an, atau ada petunjuk lain bahwa feminisme telah muncul dua hingga tiga abad sebelumnya, adalah paham yang menuntut hak sepenuhnya kaum perempuan atas ketimpangan posisi disbanding laki-laki, dan lambat laun hal itu sering disebut sebagai “gerakan feminisme”, yang sebenarnya sudah merupakan bentuk aktualisasi upaya pembebasan diri kaum perempuandari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan.
Feminisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya. Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempaun maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme(diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki serta system patriaki dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis. Adapun seorang feminis muslim menurut Yuhanar Ilyas, selain harus memenuhi criteria tersebut, yakni memiliki kesadaranakan ketidakadilan gender yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam.

2.    Sejarah lahirnya gerakan feminisme
Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masing–masing gelombang keberadaaanya memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet sebagai pelopornya. Terdapat perkumpulan masyarakat ilmiah untuk pertama kali dan didirikan di Middleburg, Belanda, pada tahun 1875. Baru ketika menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di negara-negara penjajah Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas bidang pendidikan bagi anak-anak perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan mulau dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah tahun 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminisme.
Seiring perjalanannya, feminisme barat dalam memperjuangkan hak-haknya dan mewujudkan cita-citanya, sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Padahal konsep gender yang mereka populerkan adalah menyamakan dan mensetarakan posisi laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sosial dan budaya tergantung pada tempat atau wilayahnya. Feminisme barat atau sering disebut feminisme arus utama, tidak memperdulikan ragam budaya yang mempengaruhi perempuan itu sendiri, sehingga perempuan yang berada di negara berkembang (dunia ketiga) disebut oleh feminis barat sebagai perempuan yang bodoh, terbelakang, buta huruf, tidak progresif dan tradisional.
Lahiranya Feminisme Islam
Paham-paham feminisme di dunia Islam telah berkembang sejak awal abad ke-20, terbukti lewat pemikiran-pemikiran Aisyah Taimuriyah, penulis dan penyair Mesir, Zaynab Fawwas, eseis Libanon, Taj As Salthanah, dari Iran, Fatme Aliye dari Turki, Fatima Mernissi dari Maroko, Dr. Nafis Sadek dari Pakistan, Tasleema Nasreen dari Bangladesh, Amina Wadud Muhsin, Nawal El Saadawi dari Mesir serta beberapa feminis dari Indonesia. Tak bisa dielakkan bahwa perkembangan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh feminis Barat yang lebih dahulu muncul.4
Sebenarnya kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revolusi gender. Islam hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas perempuan, merubah status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagaisecond creation (mahluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam mengangkat derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya laki-laki. Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, dan berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Islam mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl pengemban amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga sebuah konsekuensi logis bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya laki-laki dan perempuan memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang komprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.



 
4Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm. 46


Gerakan feminis tidak akan pernah berhasil jika tidak kembali mengacu pada ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah). Gagasan-gagasan asing yang diimpor dari Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, hanya akan memperburuk kondisi perempuan dan mengantarkan ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam.
Sehingga, pejuang gender hendaknya kembali pada Quran dan Sunnah, sesungguhnya inilah jalan yang akan mengantarkan kaum perempuan pada kemulyaan, yang akan mengantarkan masyarakat menuju peradaban besar.
Kemuliaan perempuan dalam Islam setidaknya bisa kita ketahui dengan bagaimana Islam menempatkan posisi seorang ibu. Dalam Islam seorang anak yang mesti patuh pada kedua orang tuanya, namun ketaatan kepada ibu harus didahulukan. Hadits yang populer yang juga dikutip buku ini menyebutkan bahwa pelayanan terbaik seorang anak didahulukan kepada ibunya tiga kali dibanding kepada ayahnya. Bahkan pada hadits lain disebutkan bahwa surga terletak di telapak kaki ibu.
3.      Tokoh feminisme dari zaman nabi sampai abad 21
a.       Maryam Binti Imran (Ibunda Nabi Isa AS)
Maryam adalah simbol wanita dalam ibadah dan ketinggian darajat ketakwaannya kepada Allah serta mampu memelihara kesucian diri dan kehormatannya ketika mengabdikan dirinya kepada Allah.
a.       Asiyah Binti Muza (Istri Firaun)
Asyiah adalah simbol teladan bagi wanita beriman yang tetap mempertahankan keimanannya kepada Allah, meskipun suaminya menyiksanya dengan siksaan yang amat berat, asiyah tetap memegang teguh keimanannya pada Allah SWT.
a.       Khadijah binti khuwalid (istri nabi Muhammad SAW)
Khadijah adalah simbol kepada isteri yang setia tanpa mengenal lelah mendampingi suaminya menegakkan panji-panji kebenaran Islam, berkorban jiwa raga dan segala harta bendanya serta rela menanggung berbagai risiko dan cobaan dalam menyebarkan risalah Islam yang diamanahkan pada bahu Rasulullah. Subhanallah, bahkan wanita ini merelakan seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah, kepentingan seluruh umat.
b.      Fatimah binti Muhammad (puteri kesayangan Rasulullah)
Fatimah adalah simbol wanita yang solehah; anak yang soleh dan taat dihadapan ayahnya; isteri yang setia dan taat di hadapan suaminya serta ibu yang bijaksana di hadapan putera puterinya. Dialah pemuka segala wanita dan juga seorang wanita mithali yang setiap detik kehidupan yang dilaluinya, sewajarnya dijadikan panutan Muslimah.
c.       Pegiat Suraya Pakzad
Suraya Pakzad asal Afghanistan menjadi perempuan muslim berpengaruh sejagat abad 21. Dia pendiri Organisasi Suara Perempuan bergerak di bidang konsultasi, pelatihan kerja, tempat penampungan para perempuan tidak diinginkan, tempat berlindung perempyan yang dilecehkan, bahkan terancam dibunuh, serta mengawal kaum hawa mendapatkan perlindungan hukum.
Pakzad sadar betul posisinya menjadi pegiat di negeri Islam konservatif. Saban hari dia mendapat ancaman hendak dihilangkan nyawanya. Bayang kematian sudah menjadi teman bagi dia. Namun perempuan ini tidak gentar. Atas jasanya Pakzad mendapat penghargaan dari Konferensi Perempuan Internasional pada 2008.
d.      Soreh Aghdaslo
Soreh Aghdaslo menjadi perempuan Iran pertama masuk dalam nominasi aktris pendukung terbaik penghargaan film bergengsi sejagat Oscar pada 2003. Kepiawaiannya berakting di film Pasir dan Kabut (Sand and Fog) membuatnya sejajar dengan sineas papan atas Amerika Serikat seperti Jodie Foster, Meryl Streep, dan sebagainya.
Sejumlah film tersohor dibintangi Aghdaslo diantaranya serial televisi terkenal Ruang Darurat (Emergency Room), dan memenangkan penghargaan Emmy untuk serial televisi Rumah Saddam pada 2008.
e.       Ratu Nur
Ratu Nur dari Yordania janda dari almarhum Raja Hussein. Dia lulusan Universitas Priceton Amerika Serikat, seorang penulis, diplomat, dan tokoh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta menjadi pakar politik Timur Tengah. Dia perempuan pertama dan mungkin satu-satunya wanita muslim menjadi jembatan antara negara-negara Arab terkenal konservatif dan selalu konflik dengan dunia.
Ratu Nur mempunyai penerus yakni Ratu Rania. Namun mempunyai gaya diplomatik berbeda. Banyak orang mengatakan Ratu Nur lebih kuat pengaruhnya ketimbang si penerus, Rania.
f.       Azar Nafisi
Penulis perempuan muslim Azar Nafisi mampu mempengaruhi sejagat lewat aksaranya. Wanita asal Iran inilah yang menulis buku laris Membaca Lolita di Teheran (Reading Lolita in Tehran) berisi perjuangan perempuan di banyak negara Islam konservatif untuk mendapat hak-hak mereka. Banyak negara mayoritas muslim justru menjadi teror menakutkan bagi kaum hawanya. Nafisi mampu membangkitkan semangat perempuan lewat tulisan dia.
Sebenarnya tradisi sastra modern perempuan Iran tidak dimulai dari Nafisi. Ada sastrawan Faruk Farukzad juga berpengaruh. Namun buku Lolita menjadi terbaik di waktu dan kesempatan yang pas pada zamannya.
4.      Dasar pemikiran feminsme
1. Pintu ijtihad tetap terbuka.
Pada pertengahan abad keempat hijrah, para ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Dengan terjadinya kontak antara dunia Islam dengan kebudayaan Eropa, timbullah kesadaran baru bahwa dengan ditutupnya pintu ijtihad, ilmu pengetahuan serta kebudayaan umat Islam mengalami stagnasi. Maka sejak saat itu lahirlah para pembaharu yang merekomendasikan terbukanya kembali pintu ijtihad.
Secara teoritis para ulama sebagian besar mengakui ijtihad sebagai sumber hukum yang ke tiga setelah Al Qur'an dan hadis, akan tetapi pada tataran aplikatif hal ini sama sekali berbeda.5  Dengan persyaratan yang ditetapkan bagi seorang mujtahid, maka mustahil akan muncul seorang mujtahid mustaqil yang memenuhi kriteria yang diterapkan pada kitab-kitab ushul klasik.
Di samping itu ruang gerak dan jangkauan ijtihad juga dipersempit. Ijtihad hanya boleh dilakukan pada ayat-ayat zanni dan tidak dapat diterapkan pada ayat-ayat yang bersifat qad'i. Yang menjadi persoalan adalah mengenai penetapan antara ayat-ayat yang bersifat qad'i dan  yang zanni itu sendiri. Terkait dengan ayat-ayat jender, kaum tradisionalis mengklaimnya sebagai ayat yang qad'i, sehingga tidak dapat dilakukan reinterpretasi terhadapnya. Dalam hal ini para feminis muslim berusaha untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi terhadap pemahaman ajaran Islam yang dianggap tidak relevan dengan perubahan tempat dan zaman.6
2. Melepaskan diri dari keterikatan masa lalu
Bagi kalangan tradisionalis maupun neo konservatif, ajaran Islam tentang kedudukan perempuan, hak dan kedudukan mereka telah ditata rapi dan lengkap oleh Al Qur'an, sunnah dan ijtihad para ulama masa lalu sehingga menjadi blue printmasyarakat muslim yang harus diterapkan sepanjang zaman. Ketika ada yang mempertanyakan hal tersebut dan berusaha untuk melakukan modifikasi maka mereka mencurigainya sebagai suatu tindakan perusakan terhadap sendi-sendi ajaran-ajaran Islam.


 
5 Dr. Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, hlm. 138
6Ibid, hlm. 139

Harun Nasution mengisyaratkan agar umat Islam berpikir liberal yang berarti melepaskan diri dari tradisi dan penafsiran pada abad pertengahan. Menurutnya pemikiran dan penafsiran tidak bersifat mutlak karena penafsiran terikat pada zamannya. Senada dengan pendapat itu, Munawir Sadzali mengutip kata-kata Muhammad Abduh bahwa kita wajib membebaskan diri dari belenggu taqlid. Dia menekankan perlunya reaktualisasi ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya persoalan perempuan yang menurutnya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.7
3. Perubahan zaman dapat melahirkan perubahan ajaran
Menurut Harun Nasution, agama dan masyarakat memiliki pengaruh timbale balik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Dalam kehidupan keluarga misalnya, ajaran dasar Al Qur'an mempengaruhi perkawinan, perceraian dan poligami. Ketiganya mempengaruhi sistem keluarga umat Islam, namun penerapannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.
Masih menurut Harun, kebudayaan masa lampau mengenai perempuan mempengaruhi ajaran agama mengenai cara pelaksanaan pernikahan, perceraian dan poligami. Dengan perubahan kebudayaan di masa kini menyebabkan perubahan dalam  ketiga hal di atas. Dia menyatakan bahwa kitab-kitab fiqh yang kini beredar adalah produk dari ulama klasik yang berijtihad untuk zamannya. Sementara zaman ketika kitab-kitab fiqh tersebut ditulis dengan zaman sekarang sudah terjadi perubahan pesat, sehingga perlu diadakan reinterpretasi terhadap kitab-kitab tersebut.8




 
7 Ibid, hlm. 144
8 Ibid, hlm. 152
5.      Superioritas akal atas wahyu
Harun mengklaim bahwa manusia dengan akalnya telah dapat menjalankan hidupnya di dunia, sebab akal dapat membedakan antara perbuatan jahat dan baik. Oleh karena itu manusia dapat menciptakan peraturan, hukum dan sanksi-sanksinya. Dengan kemampuan akal membedakan budi pekerti, manusia dapat membuat norma-norma yang hars dipatuhi sesame manusia, sehungga mereka tidak perlu menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu turun untuk menyempurnakan peraturan yang dibuat oleh akal manusia.
Munawir Sadzali menjelaskan bahwa dalam rangka menentukan hukum dan perubahan serta dasar pertimbangan kea rah tersebut, Allah telah memberikan kewenangan untuk mempertimbangkannya melalui akal budi manusia. dia mendasarkan mendasaran pendapatnya pada Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa untuk memperbaharui pemahaman agama yang harus dilakukan adalah membebaskan diri dari belenggu taqlid dan kembali kepada metode pemahaman sebelum terjadinya ikhtilaf.
Untuk menghindari bahaya anarki berpikir, Munawir mengusulkan hendaknya pemanfaatan akal itu dilakukan ecara kolektif, dengan melibatkan para ulama di berbagai ilmu terkait. Dalam memahami ajaran Islam tidak  terikat dengan arti harfiyah dari ayat dan hadis dengan tetap mengacu pada maqasid al tasyri' yang bertalian dengan penegakan dan pemerataan keadilan, kebaikan serta kemaslahatan bagi asyarakat umum.9
5. Maslahat sebagai tujuan syari'at Islam
Para feminis juga melandasi pemikirannya denga pendapat bahwa kemaslahatan merupakan tujuan dari ditetapkannya syari'at Islam.




 
9 Ibid, hlm. 154
Dalam hal ini Munawir Sadzali merujuk pendapat Al Thufi yang mendahulukan maslahat atas nas dan ijma'. Pendapatini berpangkal pada konsep maqasidu al tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.
Terkait dengan hal di atas, Ibrahm Husein mendiskripsika 4 poin yang melandasi pemikiran al Thufi tersebut. Pertama, akal semata tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburuka. Akan tetapi ia membatasi kemandirian akal hanya dalam hal muamalah danadat istiadat, dan ia melepasn ketergantungan pada nas baik dan buruk dalam kedua bidang tersebut. Kedua, maslahat merupakan dalil syar'imandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada konfirmasi nas, namun pada akal semata.Ketiga, maslahat hanya dijadikan dalil dalam hal muamalat dan adat istiadat saja, sedangkan dalam hal ibadah dan muqaddarat maslahat tidak dapat digunakan sebagai dalil. Keempat, aslahat merupakan dalil syar'i yang terkuat. Ia bukan hanya semata-mata  hujjah ketika tidak ada nas dan ijma', akam tetapi ia harus didahulukan atas nas dan ijma' pada saat terjadi pertentangan antara keduanya.10
6. Keadilan sebagai dasar kemaslahatan
Islam memiliki misi universal, yaitu menegakkan keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang juga merupakan tujuan dari diterapkannya syari'at Islam. Pesan universal ini tercantum secara jelas dalam Al Qur'an serta berlaku dalam setiap tempat dan waktu. Sementara ukuran keadilan akan berbeda dari masa ke masa dan antara satu tempat dengan tempat lain. Sebagai contoh, anak perempuan mendapat bagian harta waris setengah dari anak laki-laki pada saat Al qur'an diturunkan merupakan wujud dari suatu keadilan, mengingat sebelumnya perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari bagian harta waris.



 
10 Ibid, hlm. 156
Dengan perubahan zaman yang disertai dengan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem masyarakat, maka nilai dan ukuran keadilan itupun sudah selayaknya turut berubah. Hal ini nampak dalam tindakan kaum muslim yang membagi harta warisan sebelum waktunya, dengan kata lain memberikannya dalam bentuk hibah. Bagi kaum feminis hal ini merupakan indikasi dari ketidakpuasan masyarakat dengan hukum Islam dalam kaitannya dengan mawaris yang selama ini dipahami secara tekstual. Dengan alasan ini maka kaum feminis menawarkan suatu solusi metode kontekstualisasi dan reaktualisasi dalam pemahaman ayat al Qur'an. Menurut mereka pembagian yang tersurat dalam Al Qur'an merupakan cara Al Qur'an untuk mewujudkan keadilan. Jika keadilan dirasa tidak dapat dicapai dengan ketentuan tersebut, maka manusia memiliki wewenang untuk menyamaratakan pembagian.11
                         IV.            Kesimpulan
Feminisme adalah paham yang menuntut hak sepenuhnya kaum perempuan atas ketimpangan posisi disbanding laki-laki, dan lambat laun hal itu sering disebut sebagai “gerakan feminisme”, yang sebenarnya sudah merupakan bentuk aktualisasi upaya pembebasan diri kaum perempuandari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan.
Lahirnya gerakan feminis dipelopori kaum perempuan di kawasan Eropa. Dan di Indonesia sendiri dipelopori oleh RA Kartini. Gerakan ini lahir dikarenakan ingin mensetarakan gender, memperjuangkan hak – hak dan mewujudkan cita- cita meskipun sering diabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. 
Pendekatan feminis merupakan cara mengkaji Islam dengan perspektif jender, di mana yang diusung adalah ketidaksetaraan, marginalisasi terhadap perempuan dan sebagainya. Meskipun mendekati keadilan, namun tidak berarti semua orang setuju dengan metode ini, terutama bagi orang-orang atu golongan tertentu yang merasa diuntungkan dari budaya patriarkhi. Karena feminis timbul atas dasar sebuah persoalan, maka di dalam metode ini terkesan adanya keterpihakan, bahkan tidak jarang ada orang yang menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang kebablasan atau terlalu apologis dalam menafsirkan suatu ayat.
                            V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan banyak manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amiin.















DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour, 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.X.  Yogyakarta  : Pustaka Pelajar.
Dr. Arfa, Faisar Ananda, 2004. Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dr. Umar, nasaruddin , MA, 1999. Argumen Kesetaraan Gender: Persepektif al-Qur’an. Jakarta : Paramadina.
Khan, Nighat Said, Kamla Bshin, 1995. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, terj. S. Herlina. Jakarta : Gramedia.
Muslikhati, Siti, 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani.




1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih atas penjelasanya

Posting Komentar