BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan ilmu
fikih adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia.
Sehingga ilmu fikih menjadi rujukan bagi seorang hakim dalam putusannya,
seorang mufti dalam fatwanya dan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’
atas ucapan dan perbuatannya. Ini adalah tujuan dari undang-undang yang ada
pada umat manusia. Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan
hukumnya terhadap ucapan dan perbuatan manusia, juga mengenalkan kepada
mukallaf tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya.
Sedangakan
tujuan ilmu ushul fikih adalah menerapkan kaidah dan pembahasannya pada
dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya. Sehingga dengan kaidah
dan pembahasannya dapat dipahami nash-nash syara’ dan dengan hukum-hukum yang
di kandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-nash
tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara
sebagian nash dengan yang lain.
Dengan kaidah
dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki
nash dengan cara kias, istihsan, istishab atau yang lain, dapat benar-benar
dipahami hukum yang telah dikeluarkan oleh imam-imam mujtahid, dapat dijadikan
penimbang (sebab terjadinya) perbedaan madzhab diantara mereka terhadap suatu
bentuk kejadian. Karena tidak mungkin memahami hukum dari satu sudut pandang
atau membandingkan dua hukum yang berbeda kecuali dengan mengetahui dalil hukum
dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan
ilmu ushul fikih.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad, dasar hukum
ijtihad, dan objeck ijtihad ?
2. Apa pengertian mujtahid dan persyaratan
berijtihad ?
3. Apa itu taklid, ittiba’, dan talfiq ?
serta apa itu ijtihad kolektif?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad, dasar hukum ijtihad,
dan objeck ijtihad
1. Definisi Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata “ijtahada”
artinya : bersungguh-sungguh, rajin, giat.
Sedangkan secara istilah ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan
hukum syara’, dengan jalan memetik/mengeluarkan dari Kitab dan Sunnah.[1]
2.
Dasar Hukum Ijtihad
Dasar
hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah
surah an-Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan
surah al-Baqarah ayat 59
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menjawab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah zaman sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.
Ijtihad bertujuan menghasilkan hukum syara’. Setiap
peristiwa yang terjadi tentu ada dan harus ada hukumnya, sedangkan nash Al
Qur’an maupun Hadist terbatas jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan
ijtihad sebagai alat penggali hukum. Ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa
atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang qoth’I atau tidak ada dalilnya sama
sekali.[2]
3.
Objeck Ijtihad
Dalil-dalil yang dzani atau
peristiwa yang membutuhkan status hukum[3],
seperti:
1.
Bagaimana hukum kawin internet?
2.
Bagaimana hukum
memindah organ Babi kedalam tubuh manusia?
3.
Bagaimana hukum kawin suntik dan bayi tabung?. Dan masih
banyak lagi.[4]
B.
Pengertian Mujtahid dan Persyaratan Ijtihad
1.
Mujtahid ialah orang yang memiliki syarat ijtihad yang
sempurna, mempunyai kemampuan untuk mengistinbathkan hukum-hukum amaliyah dari
dalil-dalil syar’I.
2.
Syarat-syarat berijtihad:
a.
Mengetahui Al Qur’an dan Hadist yang bersangkutan
dengan hukum itu, meskipun tidak hafal di luar kepala.
b.
Harus mengetahui bahasa Arab dengan alat-alat yang
berhubungan dengan itu, seperti nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, agar
dengan ini dapat mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an atau Sunnah dengan cara
berfikir yang benar.
c.
Harus mengetahui ilmu Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah
fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu ini sebagai dasar berijtihad.
d.
Harus mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul
pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu.
e.
Mengetahui nasikh-mansukh dari Al Qur’an dan Sunnah.
f.
Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana
Hadist yang shahih dan hasan, mana yang dla’if, mana yang maqbul dan yang
mardud.
g.
Mengetahui rahasia-rahasia tasyi’ (Asrarusy Syari’ah)
yaitu kaidah-kaidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakkan beban
taklif kepada mukallaf.[5]
C.
Taklid, Ittiba’, Talfiq
·
Taklid yaitu menerima atau mengikuti pendapat atau
perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu.
1. Hukum Taqlid
A. Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat
kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan
dengan al Qur`an Hadits. Contoh: kalau ada burung gagak hitam di atas atap
rumah kita, menandakan akan ada salah satu anggota dari keluarga kita yang akan
meninggal.
b. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang
tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah
berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala
tersebut. Contoh: berobat kepada dukun cilik “Ponari” yang mempunyai batu
meteor, konon katanya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat
seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat
itu salah. Contoh: percaya pada semua omongan bosnya atau atasannya, padahal
segala yang di nasehatkan itu dusta. Namun, masih saja di laksanakan nasehat
tersebut.
B. Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan
bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang
belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan
atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki
kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid
sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat
untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama Muta Akhirin
dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua
golongan:
a. Golongan awan atau orang yang
berpendidikan wajib bertaqlid kepada
salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi
syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada
ulama-ulama.
C. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan
Rasulullah SAW.
·
Ittiba’ yaitu menerima atau mengikuti pendapat perbuatan
seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu.
1. Macam-macam itiba’
a. Ittiba’ kepada Allah dan RosulNYA
Ulama sepakat bahwa semua kaum
muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi
laranganNya.
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan RosulNYA
Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba`
itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh
kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan
berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul
anbiyaa(ulama pewaris para Nabi).
2. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya
ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat
mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan
penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan
kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
·
Talfiq yaitu mengambil beberapa hukum yang berpautan
dengan wasilah-wasilah dan muqadimah-muqadimah sesuatu masalah dari berbagai
madzhab dan bermacam-macam pendapat.[6]
1.
Hukum Talfiq
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama,
selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat
yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil
yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari
yang ringan-ringan saja,yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan
sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi
talfiq itu hakekatnya pada niat.
2. Pendapat-pendapat tentang Talfiq
a. Pendapat pertama, orang awam harus
mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan
karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh
melakukan talfiq.
b. Pendapat kedua, membolehkan talfiq
dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah
satu madzhab yang ditalfiqan itu.
c. Pendapat ketiga, membolehkan talfiq
tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak
dirinya.
D.
Ijtihad Kolektif
1.
Pengertian
Ijtihad kolektif yaitu sebuah upaya optimal dari
mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hokum syariat
dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan mereka semua, atau
mayoritas dari mereka setelah mengadakan tukar pendapat, untuk menentukan suatu
hokum.[7]
2.
Pentinya Ijtihad Kolektif
Ijtihad kolektif memiliki urgensi yang sangat tinggi
dalam membuat tasyri’ yang alami. Urgensi itu tampak jelas diantara sejumlah
hal yang menegaskannya. Diantara permasalahan itu, yang pling jelas adalah
menerapkan prinsip syura dalam ijtihad. Berikut hal-hal yang penting dalam
Ijtihad Kolektif :
a.
Menerapakan prinsip syura
b.
Ijtihad kolektif lebih seksama dan akurat
c.
Mennggantikan posisi Ijma’
d.
Ijtihad kolektif mengatur prosedur Ijtihad dan
menghindari kebuntuannya
e.
Ijtihad kolektif melindungi Ijtihad dari berbagai
ancaman
f.
Ijtihad kolektif merupakan solusi bagi permasalahan
baru
g.
Ijtihad kolektif merupakan jalan untuk menyatukan umat
h.
Ijtihad kolektif mewujudkan sikap saling melengkapi[8]
E. KESIMPULAN
·
Ijtihad adalah upaya berfikir keras para ulama’ dalam
menggali sumber hokum terhadap permasalahan yang muncul. Ijtihad kolektif ialah
kerja keras mayoritas para mujtahid untuk sampai pada asumsi hokum syariat
dengan cara mengambil kesimpulan, dan berdasarkan kesepakatan semuanya atau
mayoritas dari mereka terhadap suatu hokum setelah melewati tahap musyawarah.
Ijtihad kolektif sangat cocok untuk di gunakan di masa yang sekarang karena
memiliki beberapa aspek kelebihan di bendingkan dengan ijtihad mutlak (ijtihad
zaman dahulu), namun perlu di ingat ijtihad kolektif juga tak bias lepas begitu
saja dengan ijtihad mutlak, karena para mujtahid dalam menetapkan hokum juga
masih mengarah pada ijtihad mutlak. Kehujjah dari keduannya sama-sama kuat,
namun relevannya atau cocoknya untuk digunakan pada era sekarang adalah ijtihad
kolektif. Kemudian, untuk Taklid yaitu menerima atau mengikuti pendapat atau
perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu. Ittiba’
yaitu menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang dengan mengetahui
dasar pendapat atau perbuatannya. Talfiq yaitu mengambil beberapa hukum yang
berpautan dengan wasilah-wasilah dan muqadimah-muqadimah sesuatu masalah dari
berbagai madzhab dan bermacam-macam pendapat.
F. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun, semoga
bermanfaat. Apabila ada kekurangan atau pun kesalahan pengetikan kami mohon
maaf. Kritik dan saran kami terima demi perbaikan kedepannya.
Kritik dan Saran :
a.
Kerjakan jauh-jauh hari sebelum pengumpulan dan
kerjakan secara bertahap.
b.
Rajin mencari referensi sebanyak mungkin baik buku
maupun internet.
c.
Diskusikan pada teman bila punya kendala dalam
mengerjakan makalah.
d.
Pahami, teliti, dan kuasai materi makalah yang anda
buat.
G. DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syarafi, Dr. Abdul Majid. 1998. Al-Ijtihad Al-Jama’I fi At-Tasyri’ Al-Islami,
Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
TU,Syamsudin.
2002. Ijtihad Kolektif. Jakarta:
Pustaka Al Kautsar.
Asy Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.
Rifai,Rifai. 1996. FIQH, Semarang: CV. Wicaksana.
Yasin, Fatihudin
Abdul. 1997. Umat Bertanya Islam Menjawab, Surabaya: Terbit Terang Group.
Koto,Alaiddin.
2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Umar,Mu’in dkk,”
ushul fiqh II”
Fatihudin Abdul
Yasin. 1997. Umat Bertanya Islam Menjawab,
Surabaya: Terbit Terang Group.
[1] Mu’in Umar, dkk,” ushul fiqh II”, (Jakarta: ……..,…) hal. 111
[2] Moh. Rifai, “FIQH”,( Semarang: CV. Wicaksana, 1996), hal 142
[3] Alaiddin Koto, “Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh”, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004) hal 54
[4] Fatihudin Abdul Yasin, “Umat Bertanya Islam Menjawab”, (Surabaya:
Terbit Terang Group, 1997), hal 11,37, dan 42
[5] Moh. Rifai, “FIQH”,( Semarang: CV. Wicaksana, 1996), hal 141
[6] Teungku Muhammad Hasbi Asy Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 207-209
[7] Abdul Majid Asy-Syarafi,
“Al-Ijtihad Al-Jama’I fi At-Tasyri’ Al-Islami”, (Jakarta: pustaka Al-Kautsar,
1998) hal 12
[8] Abdul Majid Asy-Syarafi,
“Al-Ijtihad Al-Jama’I fi At-Tasyri’ Al-Islami”, (Jakarta: pustaka Al-Kautsar,
1998) hal 53-72
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar