Wedus Arab Bukan Wedus Biasa

AN-NAFSU Dan POTENSINYA



I.               PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia,yaitu kali-laki dan perempuan,denganposisi yang sama.  Namun Allah membedakan mereka dengan nafsu. Nafsu yang ada dalam setiap diri manusia berbeda-beda. Nafsu pada dasarnya adalah positif. Dai merupakan dorangan atau energi mental untuk mencapi apa yang diinginkan. Hanya saja dorongan, motivasi dan ambisi-ambisi tersebut harus dikendalikan sedemikian rupa sehinggga tidak berubah menjadi ambisius yang menjerumuskan pada sifat-sifat arogansi dan tindakan yang diluar kendali.
An-nafsu atau yang biasanya juga disebut hawa (hawaa),  hawa disini bukanlah dimaksudkan dengan wanita atau istri Adam,tapi merupakan sebuah potensi kalbu yang bermuatan udara, angin, dan kehammpaan yang melengkapi potensi diri manusia. Sifat nafsu cenderung mengisi seluruh ruangan pada tubuh manusia, memberikan semangat, tetapi di satu sisi menjebaknya untuk menuju tempat yang gelap, terbenam dalam bumi, sebagaimana sifat hawa yang dilukiskan Al-Qur’an, “Demi bintang ketika tanggelam” (an-najm: 1).
Plato pernah berkata, “kemenangan awal dan yang terbaik adalah menundukkan diri sendiri. Dan sebaliknya, ditundukkan oleh diri sendiri adalah hal yang paling hina dari segala-galanya (the first and the best victory is to conquer self; to be conquered by self is of all things, the most shameful and vile)”. 1

II.             RUMUSAN  MASALAH
A.      Apa definisi an-nafsu?
B.       Apa potensi an-nafsu?
C.       Bagaimana pengendalian an-nafsu?









III.           PEMBAHASAN

A.             Definisi An-nafsu[1]
Kata al-nafs mempunyai dua arti. Pertama, al-nafs berarti totalitas diri manusia. Sehingga jika disebut “nafsaka (dirimu)” maka berarti dirimu secara keseluruhan, bukan tangan, bukan kaki, bukan pikiran tetapi keseluruhan dirimu yang membedakan dengan orang lain. Kedua, al-nafs (sering dibaca nafsu dalam bahasa Indonesia) menurut pandangan para shufi adalah pusatnya akhlak tercela.2
An-nafsu adalah komponen yang ada dalam diri manusia yang memiliki kekuatan untuk mendorong melakukan sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri untuk melakukan sesuatu
(al-ghadhab).  Hal yang membuat manusia menghindari  api yang panas atau situasi yang tidak menyenangkan adalah karena dalam diri manusia ada kekuatan yang bernama ghadhab ini. Kecenderungan menghindar ini bila tidak ituntun qalbu dan akal bakal menjadikan seseorang menghindari berbuat banyak hal. Malas beramar makruf dan berahi munkar, misalnya. Malas  belajar, lari dari tanggung jawab adalah al-ghadhab yang tidak dituntut akal dan  hati.
Yang membuat manusia tergerak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya adalah al-syahwat . Dialah yang menggerakkan kita untuk mendaki gunung, mengarungi samudra, menempuh perjalanan yang melelahkan, dan sebagainya.
Bila manusia melayani semua dorongan yang dimilikinya, maka dalam dirinya akan menguat yang namanya hawa nafsu (dorongan untuk mewujutkan apa saja yang menyenangkannya). Bila hawa nafsu ini telah menggumpal dan berkuas dalam diri seseorang, maka ia dapat tumbuh menjadi seseorang yang haus akan seks tanpa norma, memperoleh harta tanpa aturan, mencari kekuasaan dengan jalan pintas, dan sejenisnya.3

Macam-macam An-nafs.
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, mereka menggamnarkan tentang al-nafs al-muthmainnah, al-nafs alammarah, dan al-nafs al-lawwamah yang menjelaskan bagaimana cara kerja aqal-qalb-nafsu.
1.             Al-nafs al-muthamainnah, dicapai seseorang bila qalbunya yang sehat (qalbun [2]salim) yang berisi keimanan yang aktif mendominasi jiwa seseorang, akal dalam keadaan mendukung qalbu, dan nafsu dikendalikan oleh qalbu.
“Hai jiwa/nafsu yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang rela dan puas lagi diridhoiNYA. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaKU, dan masuklah kedalam surgaKU.” (Al Fajr:27)
2.             Al-nafs al-ammarah, dicapai seseorang yang didominasi oleh nafsunya. Akal melayani nafsu dan qalbu dalam keadaan tak berdaya atau berpenyakit (qalbun maridl) bahkan dikunci mati (qalbun mayyit).
“Dan aku tidak membiarkan diriku (dari melakukan kesalahan) karena sesungguhnya  nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali,nafsu yang diberi rahmat oleh TuhanKU.” (Yusuf:53)
3.             Al-nafs al-lawwamah, terjadi ketika qalbu yang masih beriman, aqal, maupun nafs secara bergantian mendominasi jiwa seseorang.4
“Dan aku bersumpah dengan jiwa/nafsu yang amat menyesali dirinya sendiri.” (Al-Qiyamah:2)

B.     Potensi An-nafsu
Potensi  hawa, pada dasarnya adalah positif. Dia merupakan dorongan  atau energi mental untuk mencapai apa yang dia inginkan. Hanya saja dorongan, motivasi dan ambisi-ambisi tersebut harus dikembalikan sedemikian rupa sehingga tidak berubah menjadi ambisius yang menjerumuskan pada sifat-sifat arogansi  dan tindakan yang diluar kendali.
a.               Arogansi
Potensi yang telah dikuasai hawa akan menampakkan sosok kepribadian yang arogan. Dia merasa tidak membutuhkan siapa pun kecuali egonya sendiri , sehingga dia addalah tipe manusia yang hidup dalam dunianya sendiri, menutup kehadiran orang lain. Kalau toh ada orang lain di dalam hidupnya, hal tersebut dikarenakan bagian dari ambisi dirinya sendiri.
Dalam dunia selebritis kita menyaksikan berbagai hal yang mencengangkan.Betapa sosok yang sangat populer, dipuja, dan berlimpah kekayaan materi , akhirnya tidak memberikan kebahagiaan. Pad saat mereka diatas puncak karirnya, mereka didera rasa takut yang amat menghantuinya. Mereka tukut melihat ke depan ketika dirinya tidak lagi populer. Mereka membayangkan kesunyian yang mencekam. Ketidak berdayaan dan hidup tanpa arti.

b.             Kesombongan dan Dengki
Melemahnya potensi shard menyebabkan dirinya kehilangan bisikan dan percikan cahaya kebenaran. Dia hanya berpedoman pada desakan-desakan duniawi, sehingga tindakannya bersifat reaktif,emosional, dan punuh dengan amarah. Begitu berbahaya sifat sombong , sehingga Rosul bersabda,”Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat sifat kesombongan walaupun seberat biji sawi.”  (HR MUSLIM)5

c.              Serakah
Serakah merupakan sinonim kata tamak, rakus yaitu sikap batin yang tidak pernah puas terhadap apa yang sudah dimilikinya baik mengenai harta ataupun yang lainya.tumbuhnya sikap serakah itu didasari atas sikapnya yang mencintai dunia secara berlebihan dan atas dorongan hawa nafsunya yang tidak pernah terpuaskan. Salah satu doa Rosulullah adalah dia berlindung kepada Allah darinafsu yang tidak pernah puas.6
IV.        Pengendalian an-nafsu.
Kunci penggendalian nafsu terletak padapikira[3]n, keyakinan, dan keiasaan-kebiasaan kita sendiri.
a.              Rendah hati (tawadhu)
Al-junaid memberikan definisi terhadap tawadhu sebagai, “sikap untuk mengembangkan sayap perkindungan terhadap semua makhluk dan bersikap lapang dada kepada mereka.” Mengendalikan hawa dari sikap sombong dan dengki harus dilakukan melalui pencerahan dan pengkatan potensi shard (shafaha). Disamping menasihati hamparan kesadaran melalui renungan, membaca dan memghayati Alqur’an, meneladani uswatun hasanah Rosulullah sawserta berbagai literatur kepribadian para sholihin yang membiysakan “tradisi kearifan”, sangatlah penting untuk melakukan riyadhah yang bersungguh-sungguh dengan mendidik hati untuk berkonsentrasi.nafsu harus dikendalikan dengan cara bertawadhu, bersikap rendah hati, dan merasa diri sangat kwcil dihadapan Allah SWT.

b.    Melaparkan diri
Potensi hawa hanya dapat dikendalikan selama ada kesadaran bahwa perut yang kenyang, kenikmatan dan kelezatan dunia yang fana sungguh tidak sebanding dengan kenikmatan tiada tara yang dijanjikan-Nya di akhirat. Riwayat hidup Rasulullah saw, sungguh sangat sarat dengan kesederhanaan. Tidak sedikitpun potensi hawa dimanjakan untuk menguasai dirinya. Salah satu metode penguasaan hawa adalah dengan bentuk “mengosongkan perut”. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh pribadi beliau, tetapi ke;uarga serta sahabatnya. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah r.a., “keluarga Muhammad belum pernah kenyang dua hari berturut-turutsampai menjelanng wafatnya .” (HR Bukhori dan Muslim).

c.     Membebaskan diri dari rasa takut
Salah satu cara pengandalian potensi nafsu adalah membebaskan diri dari rasa takut kehilangan dunia. Rasa takut kehilangan dunia bukanlah fitrah dari diri manusia itu sendiri. Karna, dia terlahir sebagai manusia pemberani, bukan orang yang pengecut (dayuts) Rasulullah bersabda,

“Orang yang ahmaq itu ialah mereka yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan akan memperoleh surga Allah.”(HR Tirmidzi)

d.    Sabar
Potensi hawa yang selalu meronta dan binal tersebut akan kehilangan daya pikatnya selama potensi sabar mau menampakan jatidirinya dengan sesunggguhnya.sikap sabar hanya ada di dalam dada. Sikap sabar membuat orang lebih tekun dalam membuat rencana-rencananya. Sabar membentengi segala keputusan yang tergasa-gesa. Sabar itu pula yang akan mengandalikan nafsu amarah.



“Apakah kamu mengira akan masuk [4]surga, padahal belum nyata bagi Allah siapa orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142)7
               














V.        KESIMPULAN
Artinya, nafsu itu sendiri pada dasarnya fitrah yang bisa baik dan buruk, atau taat dan maksiat. Ia akan menjadi baik dengan amal salih dan menjadi buruk dengan perbuatan tercela. Karena itu, nafsu bisa membuat orang berpikir, mengidentifikasi, tenang, gelisah, lapar, dahaga, dengki, tamak, ridha dan qanâ‘ah; serta pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan lain.
Fenomena nafsu di dalam diri manusia memang merupakan fenomena fitrah yang melekat pada makhluk hidup, sebagaimana hewan. Nafsu itu sendiri sebagai fitrah makhluk hidup, dalam hal ini manusia mempunyai potensi baik dan buruk. Karena itu, nafsu harus dibentuk dan dibimbing agar tetap menjadi baik dan benar.
Dengan demikian, bisa dijelaskan bahwa nafsu merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, di dalamnya ada potensi baik dan buruk, serta benar dan salah.

 VI.   PENUTUP
            Demikian makalah ini bisa kami sampaikan. Sekiranya isi dalam makalah ini dapat memberikan pemahaman, dalam khazanah intelektual kita. Mohon maaf jika ada kesalahan penyampaian dalam makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.

 VII. Daftar Pustaka
Drs. H. Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri, Jakarta : Gema Insani Press
Nasrudin, Pendidikan Tasawuf, Semarang : RaSAIL Media Group, 2009
 Fuad Nashori, Potensi Potensi Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Prof. DR. H. Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim, Jakarta : Rineka Cipta, 2009


[1] Nasrudin, Pendidikan Tasawuf, Semarang : RaSAIL Media Group, 2009, hal 52.
3 Fuad Nashori, Potensi Potensi Manusia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, hal 120-121.
4 Nasrudin, Pendidikan Tasawuf, Semarang : RaSAIL Media Group, 2009, hal 125.
5 Drs. H. Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri, Jakarta : Gema Insani Press, hal 144 dan 147.
6 Prof. DR. H. Haidar Putra Daulay, Qalbun Salim, Jakarta : Rineka Cipta, 2009, hal 90-91.

7 Drs. H. Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri, Jakarta : Gema Insani Press, hal 144 dan 147.

0 komentar:

Posting Komentar