BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Kisah–kisah
dalam Al-Qur’an memiliki sisi urgensi yang sangat besar. Ia adalah
unsur terpenting dari proses pendidikan dan informasi. Dengan kisah-kisah
itu, dakwah mampu menembus relung hati yang dalam dari pendengarnya, objek
dakwah. Dakwah Islam juga bisa ditampilkan melalui media kisah, sehingga
tujuan-tujuannya sebagai tugas agama
bisa tercapai. Kisah merupakan sarana yang sangat ampuh dalam proses
pendidikan. Oleh karenanya, kisah adalah variabel penting yang ditampilkan
Al-Qur’an, dan untuk itu, kisah-kisah di dalamnya sangat mendominasi mayoritas
surah yang ada dalam Al-Qur’an. Karena itu, merupakan sebuah tuntutan bagi
kita, Kaum Muslimin yang menjadikan
Al-Qur’an sebagai pembimbing utama dalam hidup, untuk memahami kisah-kisah yang
ada di dalamnya dan memahami hikmah yang ada dibaliknya. Hal ini agar kita bisa
mengambil pelajaran dan tuntunan darinya.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa yang dimaksud dengan kisah?
B. Apa hubungan pertalian kisah dengan
hajat hidup manusia?
C. Apa isi kandungan kisah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kisah
Lafal “kisah” berasal dari bahasa Arab qishshat jamaknya qishash yang menurut Muhammad
Ismail Ibrahim, berarti “Hikayat
[dalam bentuk] prosa yang panjang”. Sedangkan Manna al-Qaththan berkata, “Kisah ialah menelusuri jejak”. Seperti
tersebut dalam ayat 64 dari al-Kahfi: “فارتداعلى
آثارهما قصصا” (Maka
keduanya kembali [lagi] menelusuri jejak mereka), dan dalam ayat 11 dari
al-Qashash “وقالت
لأخته قصيه” (Dan
ibu Nabi Musa berkata kepada kakak perempuannya (Musa), “Ikuti adikmu [yang ada
dalam kotak itu, sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya]”).
Walaupun pada lahirnya kedua pengertian itu tempak
sedikit berbeda, namun pada hakikatnya tidak berbeda secara tajam karena yang
pertama melihatnya dari sudut gaya bahasa yang dipakai dalam kisah, sementara
yang kedua melihatnya dari segi cara yang ditempuh dalam berkisah.
Adapun qashash
adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu, secara lughowi
konotasinya tak jauh berbeda dari yang disebutkan di atas, yang dipahami
sebagai “Cerita yang ditelusuri” seperti
dalam firman Allah pasa surat Yusuf ayat 111 “لقد
كان في قصصهم عبرة لأولى الألباب” (Sesungguhnya
didalam cerita (kisah-kisah) mereka ada pelajaran bagi yang berakal).
Hukum kisas (balas) secara etimologis
juga mengandung pengertian menelusuri atau mengikuti tapi khusus berekenan
dengan “mengikuti darah dengan darah,
bunuh dengan bunuh,” dan sebagainya.
Dari pengertian lughowi itu dan setelah
memperhatikan kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al-qur’an, maka kita dapat
menerima pengertian yang dikemukakan oleh Manna’ al-Qaththan bahwa yang
dimaksud dengan kisah Al-qur’an ialah “Informasi
Al-qur’an tentang umat-umat yang silam, para Nabi, dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi”.
Berdasarkan pengertian itu, maka kita dapat berkata,
bahwa kisah-kisah yang dimuat dalam Al-qur’an semuanya cerita yang benar-benar
terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti
tuduhan sebagian kaum orientalis bahwa dalam Al-qur’an ada kisah yang tidak
cocok dengan fakta sejarah? Selain itu ada pula yang berkata, kisah tersebut
adalah karangan Nabi Muhammad bukan turun dari Allah. Untuk membantah
pendapat-pendapat ini banyak ditemukan ayat Al-qur’an yang menjelaskan
kebenaran kisah-kisah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. antara lain: إن هذا لهو القصص الحق (Sesungguhnya
ini ialah kisah yang benar)(Ali Imran:
63), نحن نقص عليك نبأهم
بالحق... (Kami
kisahkan kepadamu berita tentang mereka yang sebenarnya)(al-Kahfi: 13). نتلواعليك من نبإ موسى
وفرعون بالحق...(Kami
bacakan kepadamu berita tentang Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya)(al-Qashash: 3).
Semua ayat itu menegaskan secara pasti bahwa semua
kisah didalam Al-qur’an adalah benar, tak ada yang bohong atau fiksi dan
sebagainya. Namun ada yang sudah terbukti kebenarannya berdasarkan penyelidikan
ilmiah, dan masih banyak yang belum ditemukan buktinya. Hal itu antara lain
disebabkan, terutama oleh sangat terbatasnya pengetahuan manusia. Di antara
yang sudah ditemukan, ialah jasad Fir’aun yang tenggelam di laut Merah ketika
mengejar Nabi Musa AS.bersama kaumnya sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat
50 dari al-Baqarah dan ayat 90 dari surat Yunus sebagai berikut:
وإذ فرقنا بكم البحر فأنجيناكم وأغرقنا آل فرعون وأنتم تنظرون
(Dan ingatlah ketika Kami telah membelah laut
untukmu, lalu Kami menyelamatkan kamu dan menenggelamkan keluarga Fir’aun
sedang kamu menyaksikannya).
Al-Baqarah: 50
وجا وزنا ببنى إسرائيل البحر فأتبعهم فرعون وجنوده بغيا
وعدوا حتى إذاأدركه الغرق قال آمنت أنه لآإله إلا الدي آمنت به بنوا إسرائيل وأنا
من المسلمين
(Dan Kami bawa Bani
Israil melintasi laut, lalu mereka
diikuti oleh Fir’aun dan pasukannya karena hendak menganiaya dan menindas
mereka, sehigga ketika Fir’aun hampir tenggelam ia berkata ‘Saya percaya bahwa
tiada Tuhan kecuali yang diimani oleh Bani Israil dan saya termasuk orang-orang
yang berserahdiri kepada Allah’). Yunus: 90
Dalam kedua ayat di atas jelas sekali bahwa dinyatakan
bahwa Fir’aun bersama-pengikut-pengikutnya tenggelam dilamun ombak ketika
mereka sedang berada di Laut Merah. Meskipun para pengikutnya tenggelam di laut
itu, namun khusus jasad Fir’aun diselamatkan Allah sebagaimana ditegaskan-Nya
pada ayat 92 dari surat Yunus: “فاليوم
ننجيك ببدنك لتكون لمن خلفك آية” (Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu
[badanmu] supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi generasi belakangan).
Menurut sejarah, setelah peristiwa itu usai, mayat
Fir’aun ditemukan terdampar di pantai, lalu diambil dan dibalsem oleh orang
Mesir. Kebenaran kisah yang diungkapkan ayat di atas, sekarang telah terbukti.
Sekitar 100 tahun lalu tepatnya pada tahun 1898 Loret (seorang arkeolog
Perancis) telah menemukan mumi (jasad Fir’aun yang telah dibalsem) itu. Pada
tahun 1907 Elliot Smith juga arkeolog Perancis menelitinya dengan cermat. Maka
dia meyakini bahwa mumi itu memang benar mayat Fir’aun yang mati dilamun ombak
ketika mengejar Nabi Musa AS.tempo dulu. Kebenaran fakta ini diakui pula oleh
seorang ahli bedah Perancis, Maurice Bucaille; sebagaimana ditulis Quraish
Shihab, Bucaille memberikan pengakuan itu setelah ia menemukan bekas-bekas
garam di sekujur tubuh mumi itu pada waktu ia menelitinya pada tahun 1975.
Penemuan Bucaille tersebut jelas menambah kuatnya bukti bahwa mumi itu memang
jasad Fir’aun yang dulu meninggal di laut seperti diinformasikan Al-qur’an di
atas.
Kisah-kisah Al-qur’an ditempatkan Allah pada
berbagai surat secara terpencar-pencar dan tidak disebutkan secara kronologis pada
satu surat khusus, kecuali kisah Nabi Yusuf AS.yang diungkapkan Allah secara
lengkap dalam surat Yusuf. Selain itu ada pula yang diungkapkan Allah secara
pragmentaris (sepotong-potong) dalam sejumlah surat, yang masing-masing
potongan kisah saling melengkapi seperti kisah Nabi Musa dan Fir’aun terdapat
pada 44 surat yaitu: al-Baqarah, Ali `Imran, an-Nisa`, al-Ma`idah, al-An’am,
al-A’raf, al-Anfal, Yunus, Hud, Ibrahim, al-Isra`, al-Kahfi, Maryam, Thaha,
al-Mukminun, al-Anbiya`, al-Hajj, as-Syu’ara`, al-Furqan, an-Naml, al-Qashash,
al-Ankabut, as-Sajadah, al-Ahzab, Shad, Ghafir (al-Mukmin), al-Zukhruf,
ad-Dukhan, as-Shaffah, Fushilat, Qaf, as-Syura, ad-Dzariyat, al-Qamar,
al-Tahram, al-Haqqah, al-Muzammil, an-Nazi’at, al-Buruj, al-Fajr, al-Ahqaf,
an-Najm, as-Shaf, dan al-A’la. Demikian pula kisah Nabi Nuh terdapat pada
surat-surat: Ali `Imran, an-Nisa`, al-An’am, al-A’raf, at-Taubah, Yunus, Hud,
Ibrahim, al-Isra`, Maryam, al-Hajj, al-Furqan, al-Syu’ara`, al-Ahzab,
al-Shaffat, Shad, Ghafir (al-Mukmin), Qaf, ad-Dzariyat, an-Najm, al-Qamar,
at-Tahrim, Nuh, al-Anbiya`, al-Mukminun, al-Ankabut, as-Syura, al-Hadid.
Dari kenyataan itu kita dapat berkata bahwa
kisah-kisah Al-qur’an itu terdapat pada surat-surat Al-qur’an, baik Makkiyah maupun Madaniyyat.
Apabila diamati kisah-kisah yang terdapat dalam
Al-qur’an, maka paling tidak ditemukan tiga kategori.
Pertama, mengenai para nabi. Pada umumnya kisah
tentang ini berisi antara lain dakwah terhadap kaum mereka, mukjizat sebagai
bukti kerasulan untuk mendukung kebenaran risalah mereka, sikap orang-orang
yang menentang mereka, proses perjalanan dakwah, dan kesudahan orang-orang
mukmin dan pendurhaka. Hal tersebut dapat ditemukan pada kisah-kisah Nabi Nuh,
Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad SAW, dan lain-lain.
Kedua, kisah tentang peristiwa yang terjadi di masa
lampau, tapi bukan para nabi, seperti cerita dua putera Nabi Adam: Qabil dan
Habil, ahli Kahfi, Zulkarnain, Qarun, Ashhab al-Ukhdud, Maryam, Ashhab al-Fil,
dan lain-lain.
Ketiga, kisah-kisah yang terjadi di masa Rasul Allah
seperti perang Badar dan perang Uhud dalam Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk
dalam at-Taubah, Hijrah, Isra’, dan sebagainya.
Jika diperhatikan ketiga macam kisah yang terdapat
dalam Al-qur’an itu maka tampak dengan jelas semuanya bertujuan memberikan
pelajaran memanggil umat kejalan yang benar agar mereka selamat hidup di dunia
dan berbahagia sampai ke akhirat, sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut.
Allah menuntun umat ke jalan yang benar demi
keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat, yang bila dikaji
secara seksama, maka diperoleh gambaran bahwa dalam garis besarnya tujuan
pengungkapan kisah dalam Al-qur’an ada dua macam yaitu tujuan pokok (غرض
أساسي) dan tujuan sekunder (غرض
فرعي).
Menurut a;-Buthi, yang dimaksud dengan tujuan pokok
ialah “merealisir tujuan umum yang dibawa
oleh Al-qur’an kepada manusia”, yakni menyeru, menunjuki mereka kejalan
yang benar agar mereka mendapat keselamatan di dunia dan akhirat, sedangkan
yang dimaksud dengan tujuan sekunder ialah sebagai berikut:
1. Untuk menetapkan bahwa Nabi Muhammad
benar-benar menerima wahyu dari Allah bukan berasal dari orang-orang ahli kitab
seperti Yahudi dan Nashrani. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa Nabi pernah
belajar kepada mereka. Seandainya hal itu pernah terjadi niscaya mereka akan
beberkan secara luas kepada masyarakat karena peristiwa serupa itu dapat
menjadi senjata yang teramat ampuh untuk mengalahkan hujjah Nabi. Malah yang
terjadi sebaliknya: Nabi Muhammad SAW.terkenal sebagai seorang terpercaya (al-Amin) di kalangan masyarakat Arab
dari kecil sampai dewasa (berumur 40 tahun) yakni sebelum beliau menjadi Nabi.
Kurun waktu 40 tahun cukup lama untuk menjadi bukti atas kejujurannya.
Setelah menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW.mulai
menyampaikan wahyu itu ada yang berisikan kisah umat-umat yang lalu; dan
kisah-kisah tersebut cocok dengan yang terdapat dalam kitab-kitab Taurat dan
Injil.
2. Untuk pelajaran bagi umat manusia. Hal
ini tampak dalam dua aspek. Pertama menjelaskan besarnya kekuasan Allah dan
kekuatan-Nya, serta memperhatikan bermacam azab dan siksaan yang pernah
ditimpakan kepada umat-umat yang telah lalu akibat kesombongan, keangkuhan, dan
pembangkangan mereka terhadap kebenaran.
3. Membuat jiwa Raasul Allah tenteram dan
tegar dalam berdakwah. Dengan dikisahkan kepadanya berbagai bentuk keingkaran
dan kedurhakaan yang dilakukan oleh umat-umat di masa silam terhadap para nabi
dan ajaran-ajaran yang dibawa mereka, maka Nabi Muhammad SAW.merasa lega karena
apa yang dialaminya dari bermacam cobaan, ancaman, dan siksaan dalam berdakwah,
juga pernah dirasakan oleh para nabi sebelumnya, bahkan kadang-kadang terasa
cobaan tersebut lebih keras dan kejam ketimbang apa yang dialami beliau. Dengan
demikian, akan timbul imaj dalam dirinya bahwa kesukaran tersebut tidak dia
saja yang merasakannya tapi juga nabi-nabi sebelumnya; dan bahkan ada di antara
mereka yang dibunuh oleh kaumnya seperti Nabi Zakariya, Yahya, dan lain-lain.
Dalam hal ini secara eksplisit dinyatakan oleh Al-qur’an seperti tertera dalam
al-Baqarah: 61, Ali Imran: 21 dan 112.
4. Mengkritik para Ahli Kitab terhadap
keterangan-keterangan yang mereka sembunyikan tentang kebenaran Nabi Muhammad
dengan mengubah isi kitab Taurat dan membacanya jika mereka benar, seperti
tercantum dalam ayat 93 dari Ali Imran yang pada intinya cukup menjadi bukti
bagi kita bahwa semua kisah dalam Al-qur’an bertujuan untuk mendukung tujuan
agama secara umum, memberikan bimbingan dan pendidikan kepada umat agar mereka tidak tersesat dalam
menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini.
Dengan demikian mereka akan dapat
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin.
B. Pertalian Kisah Dengan Hajat Hidup
Manusia
Dari uraian terdahulu kita mendapat gambaran bahwa
kisah dalam Al-qur’an mempunyai multifungsi, selain berisi pelajaran yang amat
berharga, juga berfungsi mengokohkan akidah Tauhid; dan sekaligus menenteramkan
jiwa, serta menetapkan pendirian dalam berjuang; bahkan dapat pula kisah itu
berfungsi sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara, terutama bila berhadapan
dengan tantangan yang keras dari umat mereka dan penolakan mereka. Peristiwa
yang sangat mengecewakan serupa itu tak usah menjadikan kita bersedih hati
apalagi berputus asa sebab nabi-nabi di masa silam juga menghadapi hal serupa, bahkan
lebih sadis dan brutal sebagaimana telah disebutkan di muka. Jadi dengan adanya
kisah para nabi itu maka kita merasa terhibur, karena bila dibandingkan dengan
apa yang dihadapi oleh para nabi di masa silam itu, maka yang kita hadapi masih
jauh lebih ringan.
Dari keterangan tersebut tampak di muka kita bahwa
kisah-kisah dalam Al-qur’an betul-betul bertalian dengan kebutuhan hidup umat
manusia di dunia ini. Selain itu, jika kisah yang dikarang oleh manusia lebih
banyak menunjukkan segi hiburan dari pada pelajaran, maka kisah-kisah dalam
Al-qur’an sebaliknya, yakni lebih mengutamakan pelajaran, pendidikan, dan
dakwah daripada tujuan-tujuan yang lain. Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka
terasa sekali kisah-kisah tersebut bertalian sangat erat dengan hajat hidup
manusia di muka bumi ini.
C. Kandungan Kisah
Dengan diungkapkan berbagai kisah yang dilalui oleh
umat-umat di zaman lampau serta akibat yang timbul dari perbuatan dan
keingkaran mereka, maka kita yang hidup kemudian dapat mengambil pelajaran dari
peristiwa-peristiwa tersebut; sehingga dapat menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang tercela dan melaksanakan hal-hal yang terpuji agar apa
yang dialami oleh umat yang lalu itu tidak terulang lagi di masa kini.
Kisah-kisah dalam Al-qur’an diungkapkan dalam rangka
mendidik umat tentang bagaimana cara hidup sebagai khalifah yang diserahi
amanah memakmurkan dan membngun kehidupan yang layak bagi umat manusia di muka
bumi ini. Dari itu kisah-kisah tersebut berisi materi antara lain: Tauhid,
Akhlak, dan Mu’amalah.
Ketiga unsur ini amat penting dalam kehidupan umat.
Sebagai contoh, misalnya tertera dalam ayat 85 dari al-A’raf:
وإلى مدين أخاهم شعيبا
قال ياقوم اعبدوا الله مالكم من إله غيره قدجاءتكم بينة من ربكم فأوفوا الكيل
والميزان ولاتبخسوا الناس أشياءهم ولاتفسدوافى الارض بعد إصلاحها ذلكم خيرلكم إن
كنتم مؤمنين.
(Dan [Kami telah
mengutus] kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: ‘Hai
kaumku! Sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu betul-betul orang yang beriman).
Jelas terlihat dalam kisah itu ketiga unsur tadi
(akidah, ibadah, dan muamalah). Unsur akidah dan ibadah tampak pada seruan Nabi
Syu’aib agar umatnya hanya menyembah Allah semata bukan yang lain; sementara
unsur muamalah terlihat dari peringatannya agar kaumnya jujur dalam menimbang
dan menakar; sedangkan dari segi akhlak mereka dituntut supaya tidak berbuat
binasa di muka bumi.
BAB
III
PENUTUP
Bahwa kisah-kisah dalam Al-qur’an ada yang
diungkapkan Allah berulangkali merupakan suatu kenyataan yang tak terbantah
karena hal itu memang dijumpai dalam Mushhaf; bahkan ada diantaranya yang
diulang sangat sering seperti kisah Nabi Musa AS. dan Fir’aun yang terdapat pada
44 surat sebagaimana telah disebut, dan terulang sekitar tigapuluh kali. Namun
apabila diamati secara cermat pengulangan tersebut, maka diperoleh gambaran
bahwa yang diulang ialah nama pelaku utamanya seperti Musa, Nuh, Fir’aun, dan
lain-lain; sedangkan isi atau materi yang diungkapkan dalam setiap pengulangan
tidak sama. Dengan demikian, sekalipun pada lahirnya tampak suatu kisah berulang namun pada hakikatnya bukanlah
berulang, melainkan semacam cerita bersambung. Oleh karena diungkapkan suatu
kisah dalam berbagai tempat, maka lengkaplah informasi tentang kisah tersebut.
A. Keimpulan
Jadi
kita dapat berkata, bahwa tak disebutkan tempat dan waktu terjadinya suatu
peristiwa, punya tujuan yang lebih besar dan mulia, yakni mendorong umat untuk
melakukan penyelidikan intensif sehingga dapat membuktikan sendiri kebenaran
Al-qur’an. Apabila semua telah dijelaskan oleh Al-qur’an maka bidang
penyelidikan ilmiah, terutama tentang sejarah akan kurang mendapat perhatian
dan motivasi untuk mengetahuinya tidak begitu kuat. Tapi jika hal itu tak
dijelaskan, maka akan memberikan motivasi yang kuat sekali bagi para ilmuwan
yang berminat terhadap sejarah dan kehidupan social lainnya untuk melakukan
penelitian dan penyelidikan imliah.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidan,
Nashruddin. 2004. Wawasan Baru Ilmu
Tafsir. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Abdul
Wahid, Ramli. 1994. Ulumul qur’an. Jakarta:Rajawali
Syadali,
Ahmad. 1997. Ulumul qur’an I.Bandung:CV. Pustaka Setia
Thamrin,
Husni. 1982. Muhimmah ulumul qur’an. Semarang:Bumi Aksara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar