Wedus Arab Bukan Wedus Biasa

ETIKA PERILAKU JAWA



       I.            PENDAHULUAN
Dalam kehidupan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi perilaku, dengan perilaku inilah seseorang dianggap baik atau buruk. Setiap masyarakat Jawa harus memenuhi norma-norma perilaku dalam kehidupannya agar tercermin kebaikan dalam setiap langkah kehidupannya.
Tanpa perilaku yang baik seseorang tak akan juga mendapatkan perilaku yang baik dari yang lainnya. Karena hal ini sangat berkaitan, apabila kita memilki perilaku baik maka respon yang diberikan orang pada kitapun juga baik. Maka dari itu dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “perilaku” untuk menjadikan kehidupan seseorang lebih pantas dan beradab.
Selain dalam ajaran budaya jawa perilaku ini juga diajarkan bahkan dianjurkan dalam ajaran agama Islam, yang mana menjadi salah satu agama yang banyak dipeluk oleh masyarakat jawa. Kiranya penting untuk menerapkan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bukan hanya dalam agama akan tetapi, budaya Jawapun juga mengajarkan dan menganjurkannya.
Pada kesempatan ini pemakalah mencoba membahasa apa saja yang berkaitan dengan etika-etika perilaku di dalam masyarakat Jawa, baik tentang perilaku itu sendiri dan yang berkaitan dengan perilaku.
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian etika?
2.      Apakah perilaku itu?
3.      Bagaimanakah konsep etika jawa?
4.      Apa saja yang termasuk dari etika perilaku Jawa?










 III.            PEMBAHASAN
1.      Apa Pengertian Etika
Kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksisistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Magnis-Suseno (1996: 6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”.[1]
2.      Apakah yang dimaksud perilaku
Pengertian perilaku tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan sikap. Sebaliknya dapat dikemukakan bahwa sikap berkaitan dengan tujuan memahatni kecenderungan-kecenderungan perilaku.
Menurut Gunarsa (1999:38) menvatakan bahwa : “Perilaku adalah segala sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai tata/cara yang ada dalam suatu kelompok”. Berdasarkan pengertian di atat perilaku itu adalah tindakan-tindakan yang diiakukan oleh seseorang sesuai dengan nilai¬-nilai norma ataupun nilai yang ada dalam masyarakat yang sudah ada sebelumnya dalam suatu kelompok sosial masyarakat.
Seorang harus belajar konsep belajar moral yang harus diperhatikan dalam perilakunya terus-menerus setiap kali ia menemui situasi yang sama. Melalui orang lain maka ia dapat belajar bagairnana tingkah laku yang baik.
Menurut Kartono (1997:6) menyatakan bahwa : “Perilaku adalah segala aktivitas perbuatan, penampilan diri yang dilakukan manusia dalam kehidupannya”.[2]
3.      Bagaimanakah Konsep Etika Jawa
Begitu luas konsep etika Jawa itu. etika meliputi sebuah konstruksi sosial, budaya, keyakinan, dan pandangan hidup secara total. Bahkan, etika Jawa juga terkait dengan wawasan gender, tua-muda, senior-junior, atasan-bawahan, begitu seterusnya. Etika yang membangun dikotomi dalam interaksi sosial semacam ini menjadi kunci pokok untuk memahami apakah seseorang tahu etika Jawa atau belum. Apakah seseorang sudah “Jawa” atau “belum Jawa”.
            Dengan gambaran etika Jawa di atas, maka terbuka kemungkinan untuk menempatkannya kedalam skema teori-teori etika normatif dan kemudian akan ditarik kesimpulan dari kedudukan etika Jawa, simpulan tersebut akan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif. Sebagai gambaran singkat tentang kepatuhan bawahan terhadap otoritas atau pemerintah. Patuh dalam bahasa Jawa disebut  setya tuhu, tidak menolak, tidak membangkang, dan karena itu orang tersebut disebut setia.
            Dari kepatuhan bawahan pada seorang atasan yang bijaksana diharapkan bahwa mereka menemukan kedamaiaan. Ketika atasan dapat menemukan apa yang diperkirakan dan dirasakan oleh bawahannya; bahwa ia mengusahakan suatu dialog sejati, walaupun tatakram pergaulan menentukan bahwa yang boleh bicara hanyalah atasan sedangkan bawahan diam saja. Dalam dialog itu ia berusaha meyakinkan para bawahannya bahwa sebaiknya ia hanya memberi perintah-perintah dimana ia mengetahui bahwa bawahan juga bersedia untuk melaksanakannya. Konsep etika demikian menandai hadirnya prinsip saling asah, asuh, dan asih dalam kehidupan. Masing-masing pihak dapat menahan diri, memahami satu sama lain, demi terwujudnya rasa enak. Mempergunakan kewajiban bawahan untuk tetap diam dan tetap mengatakan “setuju” demi untuk memaksakan perintah-perintah dari atasan merupakan suatu penyalah gunaan prinsip hormat, seperti prinsip kerukunan disalahgunakan apabila atas namanya salah satu kelompok selalu dirugikan.
            Kita telah mengetahui bahwa masyarakat Jawa mengatur interaksi-interaksinya melalui dua prinsip, prinsip kerukuna dan prinsip hormat. Dua prinsip itu menuntut bahwa dalam segaal bentuk interkasi, konflik-konflik terbuak harus dicegah.[3]         
            Manusia disebut etis, ialah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memnuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan anatar kepentingan pribadi dengan soisalnya, antara rohani dengan jasmaniahnya, dan atar sebagai makhluk berdiri sendiri dengan khalik-nya.[4]
            Penilaian etik dan tidak etik, menjadi kunci pokok dalam mendudukkan posisi seseorang dalam komunitas Jawa. Orang yang tergolong etik , dipandang lebih bersahaja, lebih memahami Jawa, dan yang lain sebaliknya. Apabila ada seseorang yang kurang menaruh hormat atau tidak rukun kepada sesame, sering mendapat cercaan, pengucilan, dan yang lebih bahaya lagi jika disuruh pergi (minggat). Hukuman etika ini sering disebut pula disebratake, atau disongkrah, artinya dikeluarkan dari golongan atau kelompok orang-orangyang etis. Yang unik, etika itu juga sering diwarnai dengan berbagai sentimen suku dan agama. Biarpun hal ini sebenarnya kurang tepat, namun realitas sering terjadi, ada orang yang mendapat malu bertubi-tubi, lantaran dianggap tidak etis, apalagi berbeda suku dan agama. Orang Jawa justru memilki strategi tersendiri dalam memberikan “pelajaran” bagi yang melanggar etika Jawa. Atas dasar hal ini, berarti etika jawa itu amat penting bagi keberlangsungan hidup habitat Jawa itu sendiri.[5]
4.      Apa Saja Yang Termasuk Dari Etika Perilaku Jawa
Kehidupan masyarakat Jawa sangatlah berhubungan erat dengan yang namanya perilaku, karena setiap anggota masyarakat Jawa dituntut untuk memiliki perilaku yang mengarah pada kebaikan. Yang termasuk atau contoh-contoh etika perilaku Jawa sangatlah banyak, diantara lain:
a)      Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan yang seperti itu disebut rukun . Rukun berrarti “dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanapa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”.
Keadaan rukun terdapat disemua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan.[6]
b)      Prinsip Hormat
Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. “Apabila dua orang bertemu, terutama dua orang jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat adalah sangat penting.[7]
c)      Kebaikan
Secara umum kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia dalah baik dan benar, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseoarang menjadi kebaikan yang konkrit.[8]            
d)     Budi Luhur
Budi luhur dapat diartikan sebagai hasil kesadaran penghayat yang menuju pada kemuliaan hati. Budi luhur dikalangan penghayat, dapat dipandang sebagai mainstream ajaran kejawen. Dalam kaitan ini Magnis-Suseno (1984:144) menyatakan bahwa budi luhur bisa dianggap sebagai rangkuman dari segala apa yang dianggap watak utama oleh orang Jawa. Siapa saja yang berbudi luhur seakan-akan dalam diri manusia itu menyinarkan kehadiran Tuhan kepada sesame dan lingkungannya. Budi luhur tidak lain merupakan sebuah ideologi kejawen, sebagai falsafah hidup penghayat dalam berperilaku, aktualisasi budi luhur dalam perilaku diwujudkan melalui budi pekerti.[9]
e)      Kemurahan hati
Walaupun mungkin ada sejumlah orang yang berusaha menjalani kehidupan ini dari sudut pandang yang egois dan memntingkan diri sendiri, hanya dengan menyediakan diri kita bagi orang lainlah kita akan merasakan betapa berartinya hidup ini. Jadi, disaat kita mencari makna kehidupan, slaah satu tempat terbaik untuk mencarinya adalah diluar (mencari pada diri orang lain) denganmenggunakan prinsip kemurahan hati.
            Seringkali arti kemurahan hati dipersempit menjadi tindakan memberikan sedekah atau menyumbangkan sejumlah uang kepada orang yang secara ekonomi kekurangan. Padahal, kemurahan hati dalam arti murninya jauh lebih luas. Kemurahan hati antara lain berarti memberikan hati kita, pikiran kita, dan kehalian kita dengan cara yang dapat membantu hidup semua orang, tidak memandang apakah mereka miskin atau kaya. Kemurahan hati adalah sikap tidak memntingkan diri sendiri. Kemurahan hati adalah cinta yang dibalut pakaian kerja.[10]
 IV.            KESIMPULAN
1.      Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.
2.      Perilaku adalah segala sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai tata/cara yang ada dalam suatu kelompok”. Berdasarkan pengertian di atat perilaku itu adalah tindakan-tindakan yang diiakukan oleh seseorang sesuai dengan nilai¬-nilai norma ataupun nilai yang ada dalam masyarakat yang sudah ada sebelumnya dalam suatu kelompok sosial masyarakat.
3.      etika Jawa meliputi sebuah konstruksi sosial, budaya, keyakinan, dan pandangan hidup secara total. Bahkan, etika Jawa juga terkait dengan wawasan gender, tua-muda, senior-junior, atasan-bawahan, begitu seterusnya. Etika yang membangun dikotomi dalam interaksi sosial semacam ini menjadi kunci pokok untuk memahami apakah seseorang tahu etika Jawa atau belum. Apakah seseorang sudah “Jawa” atau “belum Jawa”.
4.      Etika perilaku Jawa sangatlah banyak sekali, diantaranya adalah : rukun, prinsip hormat, budi luhur, kemurahan hati dan kebaikan.









    V.            DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi, Etika Hidup Orang Jawa, Jakarta: Narasi. 2010.
K. Hatch, David, Inspirasi Untuk mencapai Kehidupan yang Bermakna, terj Sofia Mansoor, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2011.
Magnis-Suseno SJ, Franz Etika Jawa: sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup orang Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Charris Zubair, Ahmad, Kuliah etika, Jakarta: CV. Rajawali, 1990.
http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-perilaku.html



[1] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, (Jakarta: Narasi, 2010), hlm. 13
[3] Ibid., hlm.13-14
[4] Achmad Charris Zubair, Kuliah etika, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm.72
[5] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, (Jakarta: Narasi, 2010), hlm. 16-17
[6] Franz Magnis-Suseno SJ, Etika Jawa: sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup orang Jawa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.39
[7] Ibid., hlm.60
[8] Achmad Charris Zubair, Kuliah etika, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm.81
[9] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, (Jakarta: Narasi, 2010), hlm.17
[10] David K. Hatch, Inspirasi Untuk mencapai Kehidupan yang Bermakna, terj Sofia Mansoor, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm.29

0 komentar:

Posting Komentar