FIQIH MUAMALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: Fiqih
Dosen pengampu: Dr. H. Fakhrudin Aziz, Lc., MSI
Disusun:
1.
Husni
Dzulvakor Rosyik (1404046079)
JURUSAN TASAWUF & PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
A.
Pendahuluan
Salah satu hal penting bagi ulama
yang menaruh perhatian besar pada fiqh adalah mencari kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip yang mengatur fikih tersebut. Dengan begitu, tidak keluar dari
bingkai syariat yang Allah turunkan demi mewujudkan maslahat manusia, baik
secara material maupun spiritual, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk
sosial, baik masa kini maupun masa depan. Sebagaimana dikatakan para ulama
kita; mashalih al-ibad fi al-ma’asy wa al-ma’ad (demi maslahat para
hamba di kehidupan dunia dan akhirat). Salah satu kajian fiqh yang dibahas
dalam Islam adalah muamalat. Dalam kehidupan bermuamalah agama Islam sudah
sangat rapi dalam mengatur peraturannya, guna untuk kesmalahatan manusia itu
sendiri. Allah swt melalui Rasul-Nya sudah sangat sempurna dalam mengatur hal
berinteraksi sesama manusia. Diantaranya adalah jual beli yang halal dan riba
yang diharamkan bagi hambanya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang fiqh
muamalat, dari pengertian, wilayah kajian, hingga fenomena kontemporernya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian muamalat ?
2.
Apa
saja wilayah kajian fiqh muamalat ?
3.
Seperti
apa ijtihad empat mazhab tentang muamalat ?
4.
Bagaimana
peran fiqh menangani fenomena kontemporer ?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Muamalat
Muamalat ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antar
sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan
kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.[1] Muamalat
secara bahasa sama dengan kata mufa alatan yang artinya saling bertindak atau
saling mengamalkan. Sedang secara istilah aturan-aturan atau hukum-hukum Allah untuk
mengatur manusia dalam kaitannya dalam urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Muamalat itu adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan
urusan dunia, dengan memandang kepada aktiviti hidup seseorang seperti jual
beli, tukar menukar, pinjam meminjam dan sebagiannya. Muamalat juga merupakan
tata cara atau peraturan dalam hubungan sesama manusia untuk memenuhi keperluan
masing-masing yang berlandaskan syariat Islam dan melibatkan bidang ekonomi dan
sosial Islam.
Pengertian muamalat menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua.
Pertama muamalat dalam arti luas, yakni bahwa fiqh muamalat adalah mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan
harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitipan diantara anggota-anggota
masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’
yang terinci.[2]
Yang kedua dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati
aturan-aturan Allah yang telah diterapkan untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta
benda).[3]
Ciri utama fiqih muamalat adalah adanya kepentingan keuntungan
material dalam proses akad dan kesepakannya. Berbeda dengan fiqih ibadah yang
tanpa dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah tanpa
ada tendensi kepentingan material. Tujuannya adalah dalam rangka menjaga
kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak
dirugikan oleh tindakan orang lain.[4]
2.
Wilayah Kajian Fiqh Muamalat
Dari pengertian muamalat seperti yang telah diuraikan di atas, maka
jelaslah bahwa muamalat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sebab dapat
mengenai segala aspek kehidupan manusia. Misalnya saja dalam bidang Agama,
politik, hukum, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya dan sebagianya. Ruang
lingkup fiqih muamalat terbagi menjadi dua:
1.
Al-Muamalat
Al-Adabiyah
Hal-hal yang termasuk dalam Al-Muamalat Al-Adabiyah yaitu ijab
kabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang
bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.[5]
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Al-Muamalat Al-Adabiyah adalah aturan-aturan
Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang
ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai penakluknya. Hal ini
berkisar pada keridhaan kedua belah pihak, ijab kabul, dusta, menipu, dan yang
lainnya.
Dengan demikian, Al-Muamalat Al-Adabiyah memberikan panduan bagi
perilaku manusia untuk melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda. Maka
dari dari perspektif ini, dalam pandanga fiqh muamalat semua perilaku manusia
harus memenuhi prasyarat “etis-normatif” agar perilaku tersebut dipandang layak
untuk dilakukan.
2.
Al-Muamalat
Al-Madiyah
Adalah muamalat yang mengkaji objek sehingga sebagian ulama
berpendapat bahwa muamalat al-madiyah bersifat keberadaan karena objek fiqh
muamalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk diperjualbelikan,
benda-benda yang memadharatkan, benda-benda yang mendatangkan kemaslahatn bagi
manusia, dan beberapa segi lainnya.
Al-Muamalat Al-Madiyah yang dimaksud Al-Fikri adalah aturan-aturan
yang ditinjau dari segi objeknya. Dengan kata lain, muamalat al-madiyah
memberikan panduan kepada manusia tentang benda-benda yang layak atau tidak
untuk dimiliki dan dilakukan tindakan hukum atasnya. Oleh karena itu, jual beli
benda bagi muslim bukan sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi
secara vertikal bertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara horisontal
bertujuan untuk memperolah keuntungan sehingga benda-benda yang
diperjualbelikan akan senantiasa dirujukan kepada aturan-aturan Allah. Maka,
dari perspektif ini, dalam pandangan fiqh muamalat tidak semua benda boleh
diperjualbelikan. Berikut adalah contoh muamalat al-madiyah:
·
Jual
beli
·
Perjanjian
·
Riba’
·
Bagi
Hasil
·
Barang
Temuan
·
Pinjaman
·
Gugatan
·
Gadai
·
Barang
Titipan
·
Sewa
Menyewa
Berikut beberapan penjelasannya:
1.
Jual
Beli
Secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan
akad saling mengganti.[6]
Menurut hukum syara’ jual beli adalah pertukaran harta atau benda yang
dilakukan oleh kedua belah pihak dengan kesepakan (akad) atas dasar suka sama
suka. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi diantaranya adalah
menurut Syaikh Al-Qalyubi yakni “akad saling mengganti dengan harta yang
berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu
selamanya dan bukan bertaqarrub kepada Allah.
Dasar
hukum jual beli:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
Ulama
Rukun
jual beli:
1.
Penjual
dan pembeli
2.
Barang
yang diperjualkan
3.
Sighat
(lafad ijab dan kabul)
Syarat jual beli
1.
Adanya
keridhoan antara penjual dan pembeli
2.
Orang
yang mengadakan transaksi jual beli harus seorang yang baligh, berakal, merdeka
dan rasyid (cerdik bukan idiot)
3.
Penjual
adalah seseorang yang memiliki barang yang akan dijual atau yang menduduki
kedudukan kepemilikan, seperti seorang yang diwakilkan untuk menjual barang.
4.
Barang
yang dijual adalah barang yang mubah (boleh) untuk diambil manfaatnya, seperti
menjual makanan dan minuman yang halal dan bukan barang yang haram seperti
menjual khamr , alat musik, bangkai, anjing, babi dan lainnya.
5.
Barang
yang dijual atau dijadikan transaksi barang yang bisa untuk kepada pembeli maka
tidak sah jual belinya. Seperti menjual barang yang tidak ada, karena termasuk
jual beli gharar (penipuan). Seperti menjual ikan yang ada di air, menjual
burung yang masih terbang di udara.
6.
Barang
yang dijual sesuatu yang diketahui penjual dan pembeli, dengan melihatnya atau
memberi tahu sifat-sifat barang tersebut sehingga membedakan dengan yang lain.
Dikarekan ketidaktahuan barang yang ditransaksikan adalah bentuk dari gharar.
7.
Harga
barangnya diketahui dengan nominal tertentu.
2.
Gadai
(Rahn)
Menurut bahasa gadai berarti tetap lestari atau juga penetapan dan
penahanan. Ada juga yang menjelaskan gadai adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan gadai ialah menjadikan satu benda
bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda
yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Dasar
hukum:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunah
3.
Ijma’
Ulama
Rukun Gadai:
Dalam fiqh empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) adalah
sebagai berikut:
1.
Aqid,
yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai (murtabin). Hal
dimaksud, didasari oleh sighat. Yaitu ucapan berupa ijab kabul.
2.
Ma’qub’alaih
(barang yang diakadkan) meliputi dua hal yakni marhun (barang yang digadaikan)
dan marhun bihi (utang) yang karenanya di adakan akad gadai.
Syarat Gadai:[7]
1.
Aqid,
kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah yaitu orang yang
sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan
baligh.
2.
Shighat,
ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam gadai tidak boleh memakai syarat
atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab gadai jual beli, jika
memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan gadai tetap sah.
3.
Marhun
bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan gadai. Dengan syarat
berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu
akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.
Marhun
adalah harta yang dipegang oleh murtahin (penerima gadai) atau wakilnya,
sebagai jaminan utang.
3.
Riba
Riba secara bahasa adalah penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan
ketinggian.[8]
Menurut terminologi syara’ riba berarti akal untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti salah satunya.
Macam-macam
riba:
1.
Riba
Al-Fadhl ialah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan.
2.
Riba
Al-Yad adalah riba yang dibayar lebih karena tidak diterima dalam majlis akad
jual beli.
3.
Riba
Al-Nasi’ah yaitu riba yang dibayar lebih karena dilewatkan pembayarannya.
4.
Riba
Qardhi yakni hutang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya.
3.
Ijtihad Empat Mazhab
Hukum jual beli menurut fiqh empat mazhab. Para ulama mujtahid
sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan. Para imam mazhab
sepakat bahwa jual beli itu dianggap sah jika dilakukan oleh orang yang sudah
baligh, berakal, kamuan sendiri, dan berhak membelanjakan hartanya. Oleh karena
itu jual beli tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai jual beli yang dilakukan
anak kecil. Menurut pendapat imam Syafi’i dan Maliki tidak sah. Berbeda dengan
Hanafi dan Hambali berpendapat sah, jika ia telah mumayyis. Akan tetapi Hanafi
mensyaratkan harus ada izin terlebih dahulu dari walinya, dan dengan izin itu
dibenarkan lagi sesudah penjualan. Demikian juga dengan Hambali. Menurut tiga
mazhab jual beli yang dipaksakan tidak sah, sedangkan menurut pendapat Hanafi
sah.
Jual beli mu’atah adalah jual beli dengan cara memberikan barang
dan menerima pembayaran tanpa ijab dan kabul oleh pihak penjual dan pembeli,
sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat modern sekarang. Menurut Maliki sah
jual beli mu’atah. Pendapat ini dipilih oleh Ibn ash-Shabagh, an-Nawawi, dan
golongan ulama mazhab Syafi’i lainnya. Dalam riwayat lain, Hanafi pun
berpendapat demikian.
4.
Peran Fiqh Muamalat Dalam Menyikapi Fenomena Kontemporer
Fiqh muamalat mengompromikan karakter tsubut dan murunah. Tsubut
artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Namun demikian, dalam tataran
praktis, islam khususnya dalam muamalat, bersifat murunah. Murunah artinya
lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip yang tsubut.
Dengan begitu, fiqh dengan hukum-hukumnya tidak selamanya kaku, fiqh selalu
bisa berjalan sesuai keadaan zaman.
Dengan kata lain fiqh sangat fleksibel, sebagai contoh jual beli
online, dulu ketika masih belum ada teknologi yang canggih, belum ada internet
tidak ada jual beli secara online. Namun di era sekarang, kita tahu bahwa jual
beli online sangat menjamur. Apakah fiqh terus serta merta melarangnya ? tentu
tidak, ada celah-celah yang memang tidak boleh diganggu gugat. Tetapi ada juga
yang memang boleh menerima perubahan selama tidak ada pertentangan dari hal
yang tsubut tersebut. Fiqh muamalat memberikan panduan dan juga batasan-batasan
terhadap perekonomian dalam Islam terutama dari hukum-hukumnya.
Transaksi secara online merupakan transaksi pesanan dalam model
bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat
maya (data intercange) via internet, yang mana kedua belah pihak tidak usah
bertemu. Sentral shop merupakan sebuah rancangan Web Ecommerce smart dan
sekaligus sebagai Bussiness Intelegent yang sangat stabil untuk digunakan dalam
memulai, menjalankan, mengembangkan, dan mencari keuntungan.
Perkembangan teknologi inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak
jauh, dimana manusia bisa dapat berinteraksi secara singkat walaupun tanpa
harus bertemu terlebih dahulu. Jual beli secara online atau yang sejenisnya
merupakan bagian dari jual beli salam (pesanan). Kata salam ataupun salaf
memiliki makna satu yaitu pesanan. Adapun secara terminologi ialah menjual
suatu barang yang telah ditetapkan dengan sifat dalam suatu tanggungan.
Akad salam pada hakikatnya adalah sebuah jual beli dengan hutang.
Tapi bedanya yang dihutang bukan uang pembayaran melainkan barangnya. Sedangkan
uang pembayaran justru diserahkan tunai, jadi akad salam ini kabalikan dari
kredit. Kalau jual beli kredit barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang
pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salam uangnnya diserahan terlebih
dahulu secara tunai sedangkan barangnnya belum diterima dan menjadi hutang.
Akad
salam diperbolehkan dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijam’. Sebagaimana ungkapan
Abdullah bin Mas’ud: bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim maka
baiklah dihadapan Allah, akan tetapi sebaliknya. Dan yang terpenting adalah
kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan memberikan data secara lengkap, dan
tidak ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain.
D.
Kesimpulan
Muamalat adalah semua hukum yang
mengatur tentang urusan dunia dengan berpegang pada hukum syariat. Contohnya
seperti jual beli, tukar-menukar, pinjam-meminjam dan sebagiannya. Objek kajian
atau ruang lingkup fiqh muamalat secara garis besar meliputi tentang harta
(al-mal), hak-hak kebendaan (al-huquq), dan hukum perikatan (al-aqad). Para
ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangakan riba diharamkan.
Para imam mazhab sepakat bahwa jual beli itu dianggap sah apabila dilakukan
oeleh orang yang sudah baligh, berakal, kemauan sendiri, dan berhak
membelanjakan hartanya. Oleh karena itu jual beli tidak sah jika dilakukan oleh
orang gila. Fiqh muamalat mengompromikan karakter tsubat dan murunah. Akad
salam seperti jual beli online ditetapkan kebolehannya di dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’.
Daftar Pustaka
Zuhdi,
Masjfuk. 1988. Studi Islam Jilid 3: Muamalah. Jakarta: CV. Rajawali.
Rosyada,
Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Syafei,
Rachmad. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Sahrani,
Sobari. Abdullah, Ru’fah. 2001. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Muhammad
Azzam, Abdul Azis. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam.
Jakarta: Amzah.
Ali,
Zainudin . 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Masjfuk
Zuhdi, Studi Islam Jilid 3: Muamalah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988),
hlm. 2.
[2] Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), hlm. 70-71.
[3] Rachmad
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 17.
[4] Dede
Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, hlm. 71
[5] Sobari
Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2001), hlm. 6.
[6] Abdul Azis
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 23.
[7] Zainudin
Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 21.
[8] Abdul
Azis, Fiqh Muamalah, opcit. Hlm. 215
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar